JAKARTA, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menilai, sistem pemungutan suara elektronik atau e-voting perlu dimatangkan apabila ingin diterapkan pada pemilihan kepala daerah (pilkada).
Bima mengataka, meski e-voting relatif siap untuk pemilihan di tingkat desa dan kelurahan, sistem ini masih harus disempurnakan untuk jenjang pemilihan yang lebih kompleks.
“Ya kalau di desa itu relatif siap sebetulnya. Karena teknologinya sederhana. Nah kalau ditarik ke kota kabupaten tentu perlu sistem yang lebih matang,” kata Bima di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).
Bima mengatakan, saat ini pemerintah terus memaksimalkan penggunaan e-voting untuk pemilihan kepala desa agar siap dibawa ke ranah pemilihan tingkat nasional.
Baca juga: Wacana E-voting untuk Pemilu di Indonesia: Antara Digitalisasi dan Infrastruktur yang Tak Merata
Mantan wali kota Bogor ini juga tidak memungkiri bahwa implementasi e-voting pada pemilihan tingkat daerah atau nasional bisa saja diusulkan lewat revisi UU Pemilu.
Namun, Bima menekankan bahwa itu semua bergantung pada kesepakatan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR.
“Ya tergantung kesepakatan dari pemerintah,” kata politikus Partai Amanat Nasional tersebut.
Diberitakan sebelumnya, Bima menyebutkan bahwa sistem e-voting telah terlaksana di 1.910 pemilihan kepala desa sejak tahun 2013-2024.
Usulan terkait e-vote ini pernah diungkapkan oleh anggota Komisi II DPR-RI Rahmat Saleh yang menilai sistem e-voting ini bisa menekan biaya dan meningkatkan partisipasi generasi baru.
Baca juga: Ada Usulan E-Voting, Komisi II DPR: Kita Tampung Dulu, Pemilu Masih Lama
“Terkait bagaimana pemilu elektronik dan digitalisasi, itu bisa menjadi perhatian khusus dan menjadi draf untuk pembahasan tahapan ke depan,” ujar Rahmat, 4 Februari 2024, dilansir dari Antara.
Namun, yang menjadi catatan adalah kesiapan infrastruktur yang harus disiapkan, juga koordinasi yang melibatkan antar kementerian/lembaga.
Pada Pemilu 2024 lalu, pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga belum mempertimbangkan penerapan e-vote karena infrastruktur digital yang belum merata serta faktor kepercayaan publik terhadap mekanisme tersebut.
Ketua KPU pada saat itu, Hasyim Asy’ari, menyebutkan bahwa keamanan data suara juga menjadi sorotan jika e-vote diterapkan.
“Pertanyaannya, siapa yang bisa melacak server (yang berisi data suara), padahal pemilu ada aspek rahasia. Kalau kemudian datanya dipertanyakan, jangan-jangan digeser atau terbaik, itu yang menjadi pertimbangan hakim MK di Jerman membatalkan (e-voting), kembali pakai surat suara manual, kertas,” ujar Hasyim, 22 Maret 2022 lalu.