Jakarta Selama bertahun-tahun, Jepang dikenal sebagai negara dengan etos kerja tinggi, di mana loyalitas tanpa batas kepada perusahaan dianggap sebagai suatu kehormatan. Generasi terdahulu rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kehidupan pribadi demi kemajuan karier dan perusahaan. Namun, seiring perubahan zaman dan nilai-nilai hidup, generasi muda Jepang mulai mempertanyakan makna dari pengorbanan tersebut.Pasca pandemi, banyak anak muda mulai mengevaluasi kembali prioritas hidup mereka. Mereka tak lagi melihat pekerjaan sebagai pusat kehidupan, melainkan hanya sebagai salah satu bagian dari hidup yang seimbang. Mereka hadir ke kantor tepat waktu, pulang sesuai jam kerja, dan tidak terobsesi pada promosi atau pujian dari atasan.Tren ini dikenal sebagai quiet quitting, konsep bekerja sesuai jobdesk tanpa ambisi berlebih. Jika dahulu hal ini terdengar asing di Jepang, kini semakin banyak generasi muda yang memilih jalan ini sebagai bentuk perlawanan halus terhadap budaya kerja lama yang menuntut totalitas tanpa batas. Berikut ulasan tentang pergeseran budaya kerja di Jepang yang dilansir dari laman dw.com, Kamis (29/5/2025).Istilah quiet quitting pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 2022. Fenomena ini menggambarkan pekerja yang memilih untuk tidak lagi terlibat secara emosional dalam pekerjaan mereka. Mereka tidak benar-benar berhenti bekerja, namun menolak melakukan hal-hal di luar tanggung jawab utama. Dalam konteks ini, quiet quitting menjadi bentuk pernyataan diam: cukup bekerja sesuai kontrak, tanpa mengejar bonus, promosi, atau penghargaan tambahan.Fenomena ini muncul sebagai reaksi terhadap budaya kerja yang menuntut produktivitas tinggi tanpa kompensasi setimpal. Di tengah kesadaran akan pentingnya work-life balance, banyak anak muda di Amerika merasa bahwa pekerjaan seharusnya tidak mengorbankan kebahagiaan dan waktu pribadi mereka.Fenomena ini kini merambah Jepang, negara yang selama puluhan tahun lekat dengan citra salaryman, loyalitas tanpa syarat, dan kerja lembur tanpa bayaran. Menurut survei Mynavi Career Research Lab terhadap 3.000 pekerja usia 20–59 tahun, sebanyak 45% mengaku hanya melakukan pekerjaan sesuai kebutuhan minimum. Generasi usia 20-an menjadi kelompok paling dominan dalam tren ini.Bagi banyak anak muda Jepang, loyalitas mutlak terhadap perusahaan tidak lagi relevan. Mereka melihat bagaimana orang tua mereka mengorbankan waktu dan kesehatan demi perusahaan yang tak selalu memberikan jaminan masa depan. Kini, banyak yang lebih memilih mengejar waktu untuk diri sendiri, berkumpul dengan teman, melakukan hobi, atau bepergian. Mereka tidak tertarik pada promosi jika itu berarti jam kerja lebih panjang.Ada berbagai alasan di balik keputusan anak muda Jepang untuk quiet quitting. Pertama, mereka menginginkan lebih banyak waktu untuk diri sendiri atau me time. Para anak muda ini tidak membenci pekerjaannya, tapi lebih memilih waktu luang untuk menikmati hidup. Kedua, mereka merasa kontribusi mereka tidak dihargai, atau gaji yang diterima tidak sebanding dengan beban kerja.Selain itu, perubahan sikap ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa perusahaan kini tidak lagi memberikan jaminan seumur hidup sebagaimana dulu. Banyak karyawan bekerja dengan kontrak tidak tetap, tunjangan dipangkas, dan bonus tak lagi semenarik sebelumnya. Hal ini membuat banyak orang enggan mengorbankan diri demi perusahaan.Bahkan, fenomena ini dipandang positif oleh sejumlah akademisi. Sumie Kawakami, dosen dan konsultan karier, menyebut bahwa quiet quitting adalah bentuk pembebasan dari tekanan ekstrem yang dulu bisa berujung pada karoshi (kematian akibat kerja berlebih). Penurunan angka bunuh diri di Jepang menjadi salah satu indikasi bahwa generasi baru mulai menemukan cara hidup yang lebih sehat dan seimbang.Sosiolog Izumi Tsuji menambahkan bahwa pergeseran ini membawa harapan baru, lebih banyak waktu luang bisa berarti peningkatan konsumsi, pertemuan sosial, dan membentuk keluarga. Hal-hal ini penting di tengah tantangan demografis Jepang. Dengan demikian, quiet quitting bukan sekadar tren malas bekerja, tapi sebuah revolusi diam dalam dunia kerja modern Jepang.
Tren Quiet Quitting di Jepang, Fenomena Sosial Anak Muda yang Kian Diminati

Tag:Breaking News