Home / Sulawesi / Transformasi Tari Kabasaran, Dulu Tarian Perang Kini Jadi Tarian Penyambut Tamu

Transformasi Tari Kabasaran, Dulu Tarian Perang Kini Jadi Tarian Penyambut Tamu

Manado – Tarian tradisional masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara, tari kabasaran, telah bertransformasi seiring perkembangan zaman. Tarian ini dahulu dibawakan oleh prajurit perang, tetapi kini lebih banyak ditampilkan dalam acara penyambutan tamu.Mengutip dari laman Indonesia Kaya, tari kabasaran awalnya dibawakan oleh para penari laki-laki yang umumnya berprofesi sebagai petani atau penjaga keamanan desa di Minahasa. Jika sewaktu-waktu wilayah mereka terancam atau diserang musuh, mereka akan meninggalkan pekerjaan dan berubah menjadi waranei (prajurit perang). Para penari ini harus berasal dari keturunan leluhur para penari kabasaran terdahulu.Mereka mewarisi senjata pusaka yang telah diwariskan turun-temurun. Senjata pusaka inilah yang mereka gunakan sebagai properti saat menari.Para penari akan menampilkan ekspresi garang, mata melotot, dan tanpa senyuman. Mereka membawa senjata berupa pedang dan tombak dengan gerakan melompat, maju-mundur, dan mengayunkan senjata dengan sigap. Gerakan tersebut menyerupai prajurit yang sedang bertempur melawan musuh.Penggunaan properti tersebut sering kali membuat penari terluka. Biasanya, luka terjadi karena kesalahan sendiri, artinya penari kurang menguasai sembilan jurus memotong dengan pedang dan sembilan jurus tusukan tombak.Tari kabasaran memadukan tiga tarian dalam ritual adat berbeda yang ditampilkan dalam tiga babak. Babak pertama, cakalele, berasal dari tarian yang dilakukan sebelum dan setelah berperang.Babak kedua, kumoyak, terinspirasi dari tarian dalam upacara korban kepala manusia. Babak ketiga, lalaya’an, merupakan adaptasi dari tarian untuk menghilangkan panas jimat-jimat yang melekat di badan. Masing-masing babak pada tari kabasaran memiliki gerakan yang khas dan berbeda.Kostum Penari KabasaranPenari kabasaran mengenakan kostum yang terbuat dari kain tenun khas Minahasa. Warna kostumnya didominasi warna merah.Mereka juga memakai topi bulu ayam atau bulu burung cenderawasih, kalung, gelang, dan aksesori lainnya. Dahulu, kostum penari ini sama dengan penari cakalele sebelum akhirnya dibebaskan dengan tetap mempertahankan warna merahnya. Tari kabasaran tak dapat dipisahkan dari situasi peperangan dan ancaman dari suku-suku lain di sekitarnya. Leluhur orang Minahasa berusaha memperkuat diri dengan merekrut orang-orang kuat berbadan besar yang dilatih berperang. Mereka diajari cara menggunakan pedang (santi) dan tombak (wengko) dalam upaya pertahanan diri.Para ksatria yang tuama (bersifat maskulin dan berani) menjadi militer pertama di Minahasa. Mereka bertugas sebagai penjaga desa (walak) dan harus selalu siap siaga menghadapi ancaman.Dalam mempersiapkan perang, para prajurit melakukan gerakan melompat, melompat maju menyerang, mundur atau menyamping untuk menghindari dan menangkis serangan musuh, disertai jeritan yang menakutkan. Dalam Minahasa tua, hal itu disebut cakalele atau sakalele.Tari kabasaran lahir dari tari cakalele. Tarian ini adalah bentuk penyederhanaan dan penghalusan dari tari cakalele yang awalnya merupakan tari perang dan pemujaan leluhur.Tari cakalele dianggap kurang ramah untuk menyambut tamu-tamu Belanda. Gerakannya dianggap terlalu kasar dan liar.Gerakan tersebut kemudian diubah dengan mengadaptasi gerakan-gerakan quadrille yang diperkenalkan Spanyol. Dari sanalah tercipta tari kabasaran sebagai tarian untuk menyambut tamu-tamu Belanda.Istilah kabasaran merupakan perubahan dari kawasaran. Kawasaran berasal dari kata wasar yang berarti ayam jantan aduan yang sengaja dipotong jenggernya (sarang) agar lebih galak saat diadu.Kabasaran kemudian diartikan sebagai penari yang menari seperti gaya gerak dua ekor ayam yang sedang menyabung. Ini identik dengan ayam aduan.Tempo dulu, setiap kampung memiliki beberapa penari kabasaran yang tergabung dalam organisasi kabasaran. Organisasi tersebut ditangani oleh para hukum tua atau kepala kampung yang mendapat tunjangan garam, beras, gula putih, kain, dan tembakau setiap bulan.Gerakan tari kabasaran yang energik dan dinamis melambangkan semangat juang para prajurit perang. Gerakan ini disempurnakan dengan irama yang berasal dari beragam alat musik pukul, seperti gong, tambur, serta kolintang. Iringan alat musik dipimpin oleh seorang tombolu yang dipilih berdasarkan kesepakatan para sesepuh adat.Saat ini, tari kabasaran masih terus dilestarikan. Beberapa kelompok tari di Tombulu (Desa Kali, Desa Warembungan, Kota Tomohon), Tonsea (Desa Sawangan), Kota Tondano, dan Tontembuan (Desa Tareran) masih merawat kesenian tradisional ini.Tari kabasaran kerap ditampilkan dalam acara penyambutan tamu, kenaikan pangkat pejabat di wilayah Sulawesi Utara, upacara adat pernikahan, dan kegiatan sosial lainnya. Pada 2018, tarian ini menjadi pembuka pesta olahraga Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.Penulis: Resla

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *