Home / Sumatera / Tepung Tawar, Perpaduan Islami dan Jejak Kearifan Lokal dari Natuna

Tepung Tawar, Perpaduan Islami dan Jejak Kearifan Lokal dari Natuna

Jakarta – Masyarakat Natuna memelihara satu warisan budaya yang tak hanya sarat makna, namun juga menjadi penopang keyakinan kolektif dalam menolak mara bahaya dan menyambut keselamatan yakni Upacara Tepung Tawar.Upacara tradisi Tepung Tawar telah diwariskan dari generasi ke generasi oleh masyarakat Melayu Natuna sebagai bentuk penghormatan kepada alam, leluhur, dan Tuhan yang Maha Kuasa.Ia bukan sekadar pertunjukan simbolik, tetapi merupakan doa yang mewujud dalam bentuk-bentuk yang sederhana melainkan percikan air, daun-daun pilihan, bunga, beras kunyit, dan rangkaian mantra lama yang dilafalkan oleh orang-orang yang dipercaya memiliki kepekaan spiritual.Dalam masyarakat yang masih sangat menghormati nilai-nilai adat, Tepung Tawar menjadi pengikat tak kasatmata antara manusia dan semesta, serta jembatan antara harapan dan kenyataan yang dijaga melalui tata cara yang sarat makna.Tepung Tawar biasanya dilaksanakan dalam berbagai momen penting, baik yang bersifat personal seperti kelahiran, pindah rumah, pernikahan, hingga keberangkatan seseorang untuk merantau atau pergi melaut maupun dalam peristiwa komunal seperti pembukaan lahan baru, peluncuran kapal, atau penyambutan tamu penting.Namun esensi utamanya tetap sama menolak bala, menghindari kesialan, serta memohon keselamatan dan keberkahan. Masyarakat Natuna percaya bahwa dalam setiap langkah besar yang diambil, akan selalu ada potensi gangguan baik yang datang dari alam gaib, energi negatif, maupun niat buruk dari sesama manusia dan karenanya perlu dilakukan upaya pembersihan secara spiritual.Prosesi Tepung Tawar biasanya dipimpin oleh tokoh adat atau orang yang dituakan di kampung, yang mempersiapkan campuran air yang diberi bunga rampai, daun tujuh jenis, serta beras kunyit yang sebelumnya telah didoakan secara khusus. Campuran tersebut lalu dipercikkan ke tubuh orang yang akan diberi tawar, atau ke benda-benda tertentu, seperti kendaraan, peralatan kerja, bahkan bangunan.Setiap percikan bukan hanya mengandung air, tetapi juga niat dan harapan akan perlindungan. Dalam pelaksanaannya, upacara ini menyatukan elemen-elemen kehidupan yang bersifat simbolik dan filosofis.Air melambangkan penyucian dan pembaruan, bunga membawa aroma kedamaian dan kelembutan, beras kunyit menjadi simbol kemakmuran dan keberuntungan, sedangkan doa-doa lisan yang dibacakan adalah benang yang merajut semua unsur itu ke dalam satu maksud menjauhkan marabahaya dan membuka jalan keselamatan. Suasana upacara dibuat tenang dan khusyuk, dengan hadirin biasanya mengenakan pakaian adat yang mencerminkan rasa hormat terhadap tradisi.Dalam masyarakat pesisir seperti di Natuna, yang hidupnya sangat tergantung pada laut, upacara Tepung Tawar juga sering dilakukan sebelum seseorang berangkat melaut dalam perjalanan panjang.Bukan hal asing jika seorang nelayan, sebelum berlayar ke laut dalam, akan meminta tokoh adat untuk menepung tawari perahu dan dirinya, sebagai permohonan agar selamat dari badai, gangguan makhluk halus, atau kejadian buruk lainnya yang mungkin menimpa selama di tengah samudra.Yang menarik dari ritual ini bukan hanya rangkaian prosesi lahiriahnya, tetapi kekuatan rasa yang ditumbuhkan di dalam batin setiap individu yang terlibat. Tepung Tawar memberi rasa tenang, perasaan bahwa segala sesuatunya telah dilakukan dengan ikhtiar dan permohonan restu, bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada alam dan leluhur yang diyakini masih menjaga jalannya kehidupan dari alam gaib.Dalam konteks ini, warisan budaya ini membentuk sistem keyakinan yang memperkuat kohesi sosial masyarakat Natuna. Ia menjadi alat pemersatu, tempat di mana nilai-nilai gotong royong, rasa hormat kepada orang tua, dan kepercayaan kepada kekuatan non-fisik tetap hidup dalam harmoni.Di era modern yang banyak mengedepankan logika dan teknologi, Tepung Tawar adalah pengingat bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan dengan akal; bahwa ada bagian dari hidup yang hanya bisa dipahami dengan hati dan dijalani dengan keyakinan.Kini, meskipun arus globalisasi perlahan menyentuh pulau-pulau terluar seperti Natuna, upacara Tepung Tawar tetap bertahan. Bahkan di beberapa sekolah dan kegiatan pemerintah, upacara ini sering dijadikan pembuka atau bagian dari peresmian kegiatan sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya lokal.Bagi masyarakat luar yang datang ke Natuna, menyaksikan ritual ini sering kali menjadi pengalaman emosional yang mendalam bukan karena kemegahannya, tetapi karena kesederhanaannya yang mengandung kekuatan.Pemerintah daerah pun mulai mengangkat Tepung Tawar sebagai salah satu identitas budaya yang layak diperkenalkan lebih luas ke nusantara, bahkan ke mancanegara, sebagai bagian dari kekayaan tradisi Melayu pesisir yang unik dan penuh nilai spiritual.Tidak sedikit pula generasi muda Natuna yang mulai kembali mempelajari dan melibatkan diri dalam upacara ini, sebagai bentuk penghargaan terhadap akar budaya mereka yang kian langka. Tepung Tawar bukan sekadar ritual ia adalah cerita tentang cara masyarakat Natuna memandang dunia, tentang bagaimana mereka menjaga hubungan dengan sesama, alam, dan kekuatan yang tak kasatmata.Ia adalah warisan leluhur yang lembut tapi kuat, tenang tapi penuh makna, yang menyuarakan pesan bahwa dalam setiap langkah hidup, kita harus menyertakan niat baik, doa tulus, dan penghormatan kepada kekuatan yang lebih besar dari diri kita sendiri.Selama air masih mengalir dari daun ke tubuh, selama bunga masih merekah dalam mangkuk tanah liat, selama doa masih melantun dari mulut ke langit, Tepung Tawar akan terus hidup menolak bala, dan menyemai harapan.Penulis: Belvana Fasya Saad

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *