Kendari – Tari lumense di Sulawesi Tenggara tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari ritual sakral pengusir bencana. Tarian ini telah berkembang sejak 200 tahun lalu.Mengutip dari laman Indonesia Kaya, tari lumense merupakan tarian tradisional asal Tokotua, Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Nama tarian ini berasal dari kata lumee dan eense.Lumee bermakna pembersihan, sedangkan eense berarti melonjak-melonjak. Jika digabungkan, lumense bermakna tarian untuk membersihkan noda, dosa, dan bencana dengan gerakan melonjak-melonjak.Sesuai fungsinya, tarian ini dilengkapi dengan alunan musik tradisional dan syair yang dimainkan bersamaan hingga terdengar seperti mantra. Para penarinya mengenakan busana campuran berwarna hitam, merah, dan emas.Koreografi tari lumense diawali dengan gerakan maju mundur, bertukar tempat, dan membentuk huruf Z yang kemudian berubah menjadi S. Gerakan dinamis ini disebut momaani (ibing).Bagian klimaks tarian ini terletak pada properti pohon pisang yang akan ditebas dengan parang hingga jatuh oleh penari. Parang dan anakan pohon pisang menjadi properti utama pada tarian ini. Adapun jumlah pohon pisangnya disesuaikan dengan jumlah penari pria.Sebagai penutup, penari akan membentuk setengah lingkaran, saling mengaitkan tangan, dan bergerak naik turun sambil mengimbangi kaki maju mundur. Tarian ini diiringi musik yang berasal dari gendang, gong besar (tawa-tawa), dan gong kecil (ndengu-ndengu).Berkembang sejak 200 tahun lalu, perkembangan tari lumense mengalami pasang surut. Pada masa sebelum agama Islam masuk ke Sulawesi Tenggara, tarian ini kerap digunakan sebagai ritual masyarakat tradisional Kabaena untuk memanggil para roh leluhur.Ritual penyembahan roh halus yang disebut dengan kowonuano (penguasa/pemilik negeri) ini bertujuan agar kowonuano bersedia mengusir wabah atau bencana yang akan datang. Prosesinya dilakukan dengan menyajikan berbagai jenis makanan.Seiring berjalannya waktu, Kesultanan Buton menjadikan tari lumense sebagai tarian pengiring masyarakat dalam membuka lahan garapan. Dalam pelaksanaannya, para pria membawa parang yang menggambarkan petani. Mereka menyediakan pohon pisang yang merepresentasikan bencana. Selanjutnya, para penari mengenakan kostum yang disebut taincombo.Taincombo penari perempuan berupa baju hitam dan rok merah marun yang bagian bawahnya mirip bentuk ikan duyung. Sementara penari laki-laki mengenakan taincombo yang dipadukan dengan selendang merah dan korobi, yaitu sarung parang dari kayu yang dipakai di pinggang sebelah kiri.Seiring berjalannya waktu, eksistensi tari lumense beberapa kali goyah. Sekitar 1946 hingga 1960, tarian ini pernah lenyap. Pada 1962, tarian ini muncul kembali.Mulai 1973, tari lumense terus berkembang di kalangan masyarakat. Hingga kini, tarian ini terus dipertahankan sebagai tarian tradisional di daerah Buton.Saat ini, tari lumense tak melulu dijadikan sebagai tarian ritual sakral pengusir bencana. Tarian ini juga mulai dipentaskan di berbagai acara penting, seperti pernikahan, penyambutan tamu, hingga acara budaya. Pada 2022, tarian ini ditampilkan pada peringatan HUT ke-77 RI di Istana Negara.Penulis: Resla
Tari Lumense, Tari Ritual Pengusir Bencana dengan Media Pohon Pisang dan Parang

Tag:Breaking News