Home / Ekonomi Sirkular / Tangkapan Ikan Tuna dan Cakalang Bakal Turun Jika Ekosistem Raja Ampat Rusak

Tangkapan Ikan Tuna dan Cakalang Bakal Turun Jika Ekosistem Raja Ampat Rusak

Konservasi Indonesia mengestimasi kerusakan ekosistem Raja Ampat bisa menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar, khususnya di bidang perikanan. Jumlah ikan tuna dan cakalang di perairan Indonesia, khususnya di Teluk Tomini dan Laut Banda, akan menurun.Dalam salah satu studi, Konservasi Indonesia mendapati sebaran larva ikan yang bertelur di perairan dekat pertambangan dapat terbawa ke kawasan lain. Hal ini akan memengaruhi sebaran ikan di wilayah tersebut.Victor Nikijuluw, Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia, mengatakan Pulau Waigeo di kawasan Raja Ampat sejak lama dikenal sebagai jalur migrasi tuna dan cakalang di Indonesia.”Jika kerusakan ekosistem laut di perairan Raja Ampat terjadi, jumlah ikan tuna dan cakalang pun akan menurun di perairan Indonesia,” kata Victor.Ia menambahkan, ikan tuna dan cakalang yang melintasi Raja Ampat bermigrasi hingga ke Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. “Artinya, efek pencemaran perairan Raja Ampat sangat dapat berdampak luas, tidak hanya ke spesies di bawah laut, namun juga kepada masyarakat di Gorontalo, Bitung (Sulawesi Utara), Ambon, hingga perairan Arafura, Maluku Tenggara,” ujarnya.Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia adalah produsen tuna terbesar di dunia. Ekspor ikan tuna pada 2023 mencapai 1,5 juta ton (termasuk cakalang dan tongkol). Nilai ekspor tuna tersebut mencapai US$ 927 juta atau sekitar Rp 15,05 triliun jika dihitung dengan kurs Rp 16.260/US$. Victor juga mengatakan migrasi ikan-ikan spesies karismatik, seperti jenis-jenis hiu, manta, hingga penyu juga akan terganggu. Dari sekitar 30 jenis mamalia laut yang melintasi perairan Indonesia, 15 di antaranya melalui dan mendiami perairan Raja Ampat. Konservasi Indonesia meyakini spesies-spesies tersebut diprediksi tidak akan lagi menjadikan Raja Ampat sebagai rumah atau jalur migrasi mereka jika terjadi pencemaran.”Spesies yang terdiri atas ikan-ikan besar, seperti hiu paus, jenis-jenis hiu lainnya, hingga penyu, itu hanya akan datang jika ada ikan-ikan kecil. Jika sebuah kawasan perairan sudah rusak lingkungannya, planktonnya sudah tidak ada, air tercemar, dan ikan-ikan kecil habis, ikan-ikan besar tidak akan muncul lagi di sana,” tuturnya.Jika dihitung, kerugian ekonomi akibat hilangnya spesies-spesies yang selama ini melintas atau menghuni kawasan Raja Ampat bisa menjadi beratus kali lipat.Peneliti kelautan Edy Setyawan dalam penelitiannya bersama Konservasi Indonesia, Conservation International, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2022 mengungkap Laguna Wayag di Kawasan Konservasi Kepulauan Waigeo sebelah barat sebagai area pembesaran pari manta pertama di dunia.Konservasi Indonesia juga mencatat ada 273 individu Hiu Berjalan (Hemiscyllium spp) dengan jenis Hemiscyllium freycineti yang diidentifikasi di perairan Raja Ampat. Hasil monitoring Konservasi Indonesia dan UNIPA pada 2022 juga menunjukkan tutupan karang keras hidup di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Kepulauan FAM dan KKP Kepulauan Misool berada di atas 30%.UNIPA mencatat rata-rata biomasa ikan herbivora di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Selat Dampir sebesar 440,4 kg per hektare. Adapun rata-rata biomasa ikan karnivora sebesar 88,1 kg per hektare.Kawasan Raja Ampat juga memiliki 553 spesies terumbu karang, menurut hasil penelitian Conservation International bersama beberapa lembaga lainnya.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *