Jakarta – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) membuat survei, baru-baru ini, yang salah satunya mengungkap sekitar 7 dari 10 pelaku usaha hotel dan restoran di Jakarta dikabarkan tengah bersiap melakukan pemangkasan tenaga kerja.Hal itu dilakukan akibat tekanan ekonomi yang kian memburuk. Ketua PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menyebut, rencana pengurangan karyawan bisa mencapai 10─30 persen dari total pekerja yang ada. Jumlahnya bervariasi, tergantung kondisi restoran dan hotel yang bersangkutan.”Jika tidak ada intervensi nyata dari pemerintah, banyak pengusaha tidak punya alternatif lain, selain mengurangi jumlah pekerja di hotel dan restoran,” terang Sutrisno saat konferensi pers daring, Senin, 26 Mei 2025.Langkah tersebut muncul seiring merosotnya tingkat hunian kamar hotel secara drastis, sementara beban operasional, seperti biaya air PDAM melonjak hingga 71 persen, tarif gas industri naik 20 persen, dan UMP yang naik sembilan persen. Kondisi itu disebut semakin menekan margin keuntungan para pelaku usaha.Hasil survei internal PHRI menunjukkan bahwa pelaku industri sudah mulai melakukan efisiensi, terutama dengan menghentikan perekrutan dan memangkas pekerja tidak tetap, seperti tenaga kontrak dan harian lepas, sementara mereka belum kembali menerima karyawan magang.Di sektor restoran, kondisi tidak jauh berbeda. Menurut Baskoro, salah satu perwakilan pelaku usaha kuliner mengaku, walau belum terjadi PHK, mereka sementara menghentikan perekrutan karyawan baru dan penerimaan peserta magang. “Semua kami freeze dulu. Tidak ada penambahan tenaga kerja saat ini, supaya bisa mengusahakan mempertahankan karyawan yang sudah ada,” jelasnya.PHRI menekankan, bila gelombang PHK benar-benar terjadi, dampaknya bisa merembet ke berbagai sektor lain yang terhubung dengan industri pariwisata, seperti petani, pelaku UMKM, penyedia logistik, serta para seniman lokal. Saat ini, sektor perhotelan dan restoran di DKI Jakarta mempekerjakan lebih dari 600 ribu orang dan berkontribusi sekitar 13 persen terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).Maka itu, PHRI mendesak pemerintah untuk segera memberi dukungan konkret, antara lain melalui relaksasi anggaran kegiatan pemerintahan di hotel, penyesuaian tarif energi, serta penyederhanaan proses izin dan sertifikasi usaha.Di awal tahun ini, kebijakan efisiensi anggaran kementerian/lembaga disebut berdampak luas, termasuk di industri hotel dan restoran. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani meminta pemerintah memasukan anggaran jasa hotel dan restoran dalam e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).”LKPP itu yang di e-katalog, itu pasti sudah disesuaikan dengan pagunya pemerintah. Lebih memudahkan. Kita mendorong ke arah sana, karena kalau hanya memotong anggaran saja, sebetulnya nanti program pemerintahnya juga pasti terganggu,” kata Hariyadi Sukamdani pada Lifestyle 13 Februari 2025.Menurut Hariyadi, sejak kebijakan efisiensi berlaku, belum ada kegiatan pemerintah dilakukan di jasa perhotelan.Ia memprediksi, potensi kerugian industri perhotelan akibat kebijakan tersebut mencapai Rp24 triliun atau setara 40 persen okupansi hotel secara nasional.”Hitungan kami untuk akomodasi kamar saja potensinya Rp16,5 triliun. Untuk meeting kira-kira Rp8,2 triliun. Jadi totalnya Rp24,8 triliun. Untuk sebagian hotel itu sekitar 40 persen okupansi hotel dan itu akan bakal berkurang di tahun ini. Kalau di daerah-daerah lain, di Indonesia timur, misalnya, bisa berdampak penurunan sampai 70 persen,” terangnya.Hariyadi saat itu sudah meyakini bahwa ada efek domino dari efisiensi anggaran terkait industri hotel dan restoran. “Kalau itu tidak ada (permintaan dari industri hotel dan restoran) order-nya (ke sektor lain yang terkait) otomatis turun semuanya. Pendapatan asli daerah juga pasti akan terpengaruh karena dari pajak hotel dan restoran itu kita selalu menduduki peringkat lima besar,” ucapnya.
Tak Hanya Hotel, Bisnis Restoran Juga Terancam PHK Karyawan

Tag:Breaking News