Home / Ekonomi / Stimulus Ekonomi atau Panik Fiskal? Solusi Sementara Tinggalkan Bom Waktu Utang

Stimulus Ekonomi atau Panik Fiskal? Solusi Sementara Tinggalkan Bom Waktu Utang

Jakarta Pemerintah kembali mengumumkan enam paket stimulus ekonomi efektif 5 Juni 2025, dengan klaim menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%.Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menilai kebijakan ini justru mengundang pertanyaan kritis yaakni apakah langkah darurat ini merupakan respons terukur atau sekadar reaksi panik yang mengorbankan keberlanjutan fiskal.Pemerintah menggelontorkan enam paket stimulus mulai 5 Juni 2025 dengan sasaran menjaga daya beli dan konsumsi domestik agar pertumbuhan kuartal II tetap di kisaran 5 persen.Rinciannya mencakup diskon transportasi, tol, dan listrik; penebalan bantuan sosial; subsidi upah; serta perpanjangan diskon iuran jaminan kecelakaan kerja.”Namun, di balik semangat “cepat tanggap” ini, terdapat tanda tanya besar: sejauh mana studi awal dan perencanaan jangka panjang telah dilakukan?,” kata Achmad kepada Selasa (27/5/2025).Berdasarkan data APBN hingga April 2025 menunjukkan pendapatan negara yang baru mencapai Rp 810,5 triliun atau 27 persen dari target setahun penuh, meski membukukan surplus Rp 4,3 triliun (0,02 persen PDB).Namun, defisit anggaran yang mulai melebar, hingga akhir Februari defisit mencapai Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen PDB, dan melonjak menjadi Rp 104 triliun per Maret 2025.”Dampaknya, ruang fiskal menjadi makin terjepit di tengah tekanan global dan volatilitas komoditas,” ujarnya.Begitu pula stimulus tanpa kajian multiplier effect dan kajian keberlanjutan, ia mungkin memompa konsumsi jangka pendek, tetapi meninggalkan residu defisit kronis. Ia menyoroti bahwa ruang fiskal Indonesia tengah diuji. Realisasi pendapatan negara baru 27 persen pada April, sementara belanja telah menyentuh 22,3 persen dari pagu.Lebih jauh, alokasi APBN untuk enam paket stimulus hingga kini belum dirinci secara transparan. Ada tiga masalah bagaimana pemberian stimulus tanpa perencanaan dan tanpa orkestrasi yang matangPertama, Kegagalan Prioritisasi Program. Pembangunan 3 juta rumah, Makan Bergizi Gratis (MBG), dan Koperasi Merah Putih program strategis dengan alokasi triliunan rupiah kini terancam tumpang-tindih dengan paket baru.”Pertanyaannya: mengapa tidak mengoptimalkan program existing ketimbang menciptakan inisiatif ad-hoc? Alih-alih sinergi, kebijakan stimulus terbaru tersebut justru memperlihatkan ketiadaan “konduktor” yang mengatur harmonisasi anggaran,” ujarnya. Kedua, Ilusi Transparansi dan Bom Waktu Utang. Pemerintah hingga kini enggan merinci sumber pembiayaan stimulus. Ketika Dirjen Anggaran Luky Alfirman hanya menjawab “sedang dihitung” publik patut curiga, apakah ini skenario pencetakan utang baru atau ekspansi defisit yang dipaksakan.Padahal, utang pemerintah telah menyentuh 40,1% PDB (Q1 2025), dengan beban bunga Rp389 triliun/tahun angka yang bisa melonjak jika penerbitan SBN dipaksakan di tengah kenaikan suku bunga global.Masalah ketiga adalah Mengorbankan Keadilan Kelas. Stimulus konsumtif seperti diskon tol bersifat regresif yakni hanya dinikmati mayoritas masyarakat perkotaan, sementara petani dan nelayan kelompok paling rentan inflasi hanya mendapat “remah” melalui bantuan sosial.Belum lagi soal diskon listrik 50%, yang dinilai membuat perasaan sakit hati karena sebelumnya diskon listik 50% diberikan kepada penguna listik 2200 KV kini hanya kepada 1300 KVA kebawah saja.”Ini bukan kebijakan berpihak dan memiliki multiplier ekonomi, melainkan pemborosan anggaran berkedok populisme,” pungkasnya.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *