Jakarta – Hidangan unik dari Sulawesi Tenggara yang tak hanya menggugah lidah, tetapi juga menjadi simbol kultural dan perekat sosial masyarakat Tolaki yakni Sinonggi.Dibuat dari bahan dasar sagu, makanan ini bukan hanya sekadar santapan harian atau suguhan saat acara adat, tetapi juga mewakili narasi panjang hubungan manusia dengan alam, budaya, dan leluhur mereka.Di tanah-tanah lembab dan subur yang menghampar di pesisir tenggara Pulau Sulawesi, pohon sagu tumbuh subur sebagai anugerah alam yang sejak dulu menjadi sumber kehidupan. Melalui proses yang panjang dan penuh kesabaran, batang sagu diproses menjadi tepung, kemudian diolah menjadi sinonggi yang kenyal, bening, dan lentur ciri khas utama hidangan ini.Namun kekuatan sinonggi bukan hanya terletak pada tekstur dan bentuknya yang unik, melainkan juga pada kelengkapan bumbu rempah yang disajikan bersamanya. Mulai dari kuah ikan yang gurih hingga sambal khas yang menyengat dan wangi daun kemangi, semuanya berpadu menjadi sebuah simfoni rasa yang menggugah semua panca indera.Lebih dari sekadar makanan, sinonggi juga menjadi cerminan nilai-nilai komunal dalam masyarakat Tolaki. Proses penyajiannya yang biasanya dilakukan secara bersama-sama, di mana sinonggi ditempatkan dalam satu wadah besar dan disantap beramai-ramai menggunakan sumpit kayu panjang, melambangkan semangat kebersamaan, keakraban, dan persaudaraan.Makan sinonggi bukanlah aktivitas yang tergesa-gesa, melainkan sebuah ritus sosial yang mengundang percakapan, tawa, serta kehangatan di antara anggota keluarga dan komunitas.Kuah yang mendampingi sinonggi pun tak dibuat sembarangan dari ikan laut segar yang dimasak dengan rempah khas seperti lengkuas, sereh, kunyit, dan daun jeruk, hingga pelengkap seperti sayuran rebus dan sambal dabu-dabu yang memberi kejutan rasa pada setiap suapan. Setiap unsur dalam penyajian sinonggi memiliki filosofi tentang kelimpahan laut, kesederhanaan hidup, dan kekayaan alam yang harus dijaga bersama. Dalam konteks yang lebih luas, sinonggi adalah representasi dari resistensi budaya terhadap arus modernisasi makanan cepat saji yang mengancam eksistensi kuliner tradisional.Generasi muda Sulawesi Tenggara kini mulai diajak kembali untuk mencintai dan melestarikan sinonggi sebagai bagian dari identitas lokal yang tak ternilai. Festival-festival kuliner, pelatihan memasak, hingga promosi lewat media sosial menjadi strategi-strategi baru untuk memastikan sinonggi tidak hanya hidup dalam kenangan orang tua, tetapi juga diteruskan dan dimodifikasi oleh anak-anak muda sebagai bagian dari gaya hidup yang berakar pada kearifan lokal.Bahkan dalam industri pariwisata, sinonggi perlahan mulai dikenal sebagai salah satu ikon gastronomi Sulawesi Tenggara yang unik, eksotis, dan otentik sebuah pengalaman kuliner yang tidak bisa ditemukan di tempat lain di Indonesia, bahkan dunia.Di setiap mangkuk sinonggi tersimpan makna, memori, dan rasa yang mendalam, yang hanya bisa dimengerti ketika kita duduk bersama, menyendoknya perlahan, dan membiarkan kehangatan cita rasa dan kebersamaan itu meresap hingga ke relung jiwa.Sulawesi Tenggara telah mengajarkan kepada kita bahwa makanan bukan hanya soal mengenyangkan, tetapi tentang merawat ingatan dan merayakan kehidupan.Penulis: Belvana Fasya Saad
Sinonggi, Olahan Sagu Sulawesi Tenggara Menyatukan Tradisi dan Cita Rasa

Tag:Breaking News