Jakarta Ketegangan dagang global menunjukkan tanda-tanda mereda, khususnya antara Amerika Serikat (AS) dan China. Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Laras Febriany mencermati sentimen pasar saat ini membaik dibanding satu hingga dua bulan lalu yang cenderung reaktif dan pesimistis. Pasar kini lebih “hopeful”, meskipun tetap waspada terhadap dinamika global.Kemajuan negosiasi tarif antara AS dan beberapa mitra dagangnya turut menopang sentimen positif. Amerika Serikatdan Inggris telah mencapai kesepakatan, sementara negosiasi dengan Uni Eropa diperpanjang selama 90 hari. Terutama, adanya itikad terbuka antara AS dan China untuk bernegosiasi menjadi sorotan utama pelaku pasar.Namun demikian, pasar belum sepenuhnya lega. Menurut Laras, kebijakan AS yang sangat mudah berubah membuat pasar tetap berhati-hati. “Walau nantinya tarif bersifat final, tarif dasar universal 10% tetap berlaku dan akan berdampak pada perdagangan serta pertumbuhan global,” kata dia, dikutip Selasa (17/6/2025).Fenomena “US exceptionalism” yang dulu mendominasi, kini bergeser ke tren “Sell America”. Laras menekankan bahwa tren ini bukan berarti investor benar-benar keluar total dari pasar AS, tetapi preferensi jangka panjang terhadap kawasan lain makin menguat, bukan sekadar keputusan taktikal.Beberapa faktor yang menyebabkan berkurangnya daya tarik AS antara lain pelemahan ekonomi akibat tarif, ketidakpastian kebijakan Presiden Donald Trump, serta kekhawatiran fiskal yang tercermin dari penurunan peringkat utang oleh Moody’s. Di sisi lain, tensi geopolitik juga membuat investor lebih selektif terhadap eksposur ke AS.“Sell America ini lebih merefleksikan pengalihan alokasi yang bertahap dan strategis, bukan pelarian besar-besaran,” ujar Laras. Dalam konteks ini, kawasan Asia menjadi penerima manfaat utama dari rotasi portofolio global tersebut. Asia disebut-sebut memiliki potensi kuat untuk menyerap aliran dana yang keluar dari AS. Menurut Laras, Asia merupakan kawasan dengan lanskap investasi yang unik, memadukan kekuatan domestik dan koneksi kuat pada rantai pasok teknologi global.Sektor-sektor seperti teknologi perangkat keras (tech hardware), energi terbarukan, rantai pasok EV, layanan IT, otomasi robotik, kecerdasan buatan (AI), serta sektor konsumsi dan farmasi menjadi sub-tema menarik. Diversifikasi sektor ini memberikan daya tarik jangka panjang bagi investor global.“Asia itu adalah kombinasi dari domestic self-sufficiency dan global tech supply chain,” jelas Laras. Ia juga menekankan bahwa struktur pertumbuhan Asia bersifat lebih beragam dan tidak tergantung pada satu faktor ekonomi saja. Indonesia menghadapi tantangan dalam pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama. Menurut Laras, konsumsi rumah tangga yang belum pulih pasca pandemi serta kontraksi belanja pemerintah akibat realokasi APBN menjadi penyebab utama stagnasi.Namun, di kuartal kedua, proses realokasi APBN telah rampung. Diharapkan akselerasi belanja pemerintah, stimulus lanjutan, serta stabilitas Rupiah akan berdampak positif terhadap konsumsi dan pertumbuhan ekonomi. Penurunan suku bunga acuan juga menjadi sinyal pelonggaran moneter untuk mendukung pemulihan.“Kita berharap di semester kedua nanti tingkat konsumsi dapat semakin pulih, Rupiah semakin stabil, dan belanja pemerintah dapat lebih efektif,” ujar Laras, seraya menekankan pentingnya kesinambungan kebijakan untuk menopang pertumbuhan.Nilai tukar Rupiah dan kebijakan suku bunga menjadi indikator krusial bagi pasar obligasi. Menurut Laras, tren pelemahan indeks Dolar AS karena ekspektasi penurunan suku bunga global memberi ruang stabilitas bagi Rupiah, apalagi setelah lewatnya periode musiman pembayaran dividen dan kebutuhan valas untuk musim haji.MAMI memperkirakan Rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.200–Rp16.900 per dolar AS hingga akhir tahun. Sementara itu, suku bunga acuan Bank Indonesia diperkirakan bisa turun hingga 5,25%, didukung inflasi yang terjaga dan urgensi mendorong pertumbuhan.“Penurunan rasio PLM oleh BI sebesar 100 bps juga berpotensi menambah likuiditas pasar hingga Rp90 triliun,” terang Laras. Tambahan likuiditas juga akan datang dari jatuh temponya SRBI dalam jumlah besar pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini. Dengan ekspektasi penurunan suku bunga dari The Fed dan BI, obligasi berdurasi pendek dinilai lebih menarik. Penurunan yield dari suku bunga akan berdampak positif pada capital gain di obligasi tenor pendek, terutama di tengah ketidakpastian pasar jangka pendek.Selain capital gain, kupon obligasi juga menjadi sumber imbal hasil yang stabil. Obligasi pendek menjadi pilihan yang aman dan adaptif terhadap perubahan suku bunga dan volatilitas pasar.“Obligasi tenor pendek memberikan kombinasi antara potensi capital gain dan kupon yang stabil di tengah dinamika global yang belum pasti,” jelas Laras, menegaskan strategi portofolio fixed income yang konservatif namun tetap oportunistik.Meski prospek obligasi domestik cukup menarik, Laras mengingatkan adanya risiko global yang harus diwaspadai. Ketidakpastian pada imbal hasil US Treasury dan potensi kelanjutan perang dagang AS–China masih membayangi sentimen.Dari sisi domestik, efektivitas stimulus pemerintah akan menjadi kunci. Jika tidak tepat sasaran, maka konsumsi bisa tetap lesu dan mempengaruhi pertumbuhan PDB. Di sisi lain, katalis positif datang dari rencana peningkatan penerbitan obligasi global dan stabilitas pasokan obligasi Rupiah.“Penurunan penerbitan SRBI dan besarnya jumlah jatuh tempo SRBI di pasar juga diharapkan meningkatkan likuiditas di pasar obligasi,” tutup Laras.
Sentimen Pasar Global Membaik, Bagaimana Prospek Pasar Obligasi RI?

Tag:Breaking News