JAKARTA, Saksi permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Penderitaan Rakyat (Tapera), Rahmat Saputra (41 tahun), menceritakan kesulitannya menghidupi keluarganya meskipun gajinya sudah memasuki upah minimum regional (UMR) Jakarta 2025.
Dalam persidangan pada Rabu (21/5/2025), Rahmat bercerita bahwa gajinya sebesar Rp 5,6 juta, lebih besar dari UMR Rp 5,39 juta, tetapi uag itu pas-pasan untuk membiayai keluarganya, termasuk dua anak yang sudah duduk di bangku sekolah.
“Sementara istri saya hanya seorang ibu rumah tangga. Selain sebagai tulang punggung finansial keluarga, saya juga membiayai hidup kedua orang tua saya yang masih hidup,” kata Rahmat dalam sidang perkara 134/PUU-XXII/2024 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu.
Pria asal Subang ini menjabarkan, gaji senilai Rp 5,6 juta itu tak memenuhi kebutuhan keluarganya karena ada begitu banyak pengeluaran yang harus dicukupi.
Baca juga: Surya Tjandra Nilai Tapera Ingin Himpun Uang, Bukan Bantu Buruh Dapat Rumah
Misalnya, iuran wajib BPJS 1 persen dari gaji, iuran BPJS Ketenagakerjaan potongan 3 persen atau potongan Rp 168.900.
“Lalu ada PPH 21 itu sekitar Rp 42.965. Lalu juga di situ setiap bulan saya ada potongan Koperasi Karyawan berupa tabungan dan pinjaman yaitu sekitar Rp 1.200.000. Jadi jumlah potongan yang saya terima setiap bulan itu adalah sebesar Rp 1.468.209,” imbuh dia.
Rahmat menyebutkan, penghasilan bersih yang ia terima pun hanya Rp 4,1 juta dari gaji Rp 5,6 juta yang terpotong berbagai iuran wajib.
Take home pay yang diterima oleh Rahmat pun kembali dipotong untuk membayar angsuran rumah sebesar Rp 1,6 juta, biaya listrik sebesar Rp 400.000, dan iuran peruamahan senilai Rp 150.000 tiap bulannya.
Baca juga: Eks Wamen ATR/BPN Ungkap Alasan UU Tapera Layak Digugat ke MK
“Dan biaya beban keseharian dari mulai biaya makan, kebutuhan pokok, mulai bekal jajan anak, bensin motor selama satu bulan dengan rata-rata pengeluaran minimal Rp 1,5 juta per bulan,” tuturnya.
Rahmat juga menyebut, sebagai anak pertama, ia dibebankan untuk membiayai orang tua dan membantu keluarganya dengan pengeluaran rata-rata Rp 950.000 per bulan.
Kebutuhan hidup Rahmat jika ditotal menembus angka Rp 5,3 juta, lebih besar dari pendapatan gaji yang bisa dia bawa pulang yakni Rp 4,1 juta.
“Artinya gaji saya masih minus, Majelis Hakim, sebesar Rp 1.192.364,” kata dia.
Untuk menutupi biaya harian ini, dia bersama istrinya mencoba usaha berjualan kecil-kecilan di rumahnya.
Oleh sebab itu, dia merasa akan sangat terbebani dengan UU Tapera yang mewajibkan kepesertaan para pekerja, meskipun sudah memiliki cicilan perumahan.
Baca juga: Tapera Digugat ke MK, Pemerintah Siapkan Skema Lain Beli Rumah
“Kalau (diwajibkan iuran Tapera) 2,5 persen, mungkin dengan upah saya itu, saya akan menambah potongan sekitar Rp 140.000. Untuk perumahan sendiri, saat ini saya pun sedang berjuang, Majelis Hakim, untuk melunasi biaya KPR selama 15 tahun. Secara tidak langsung, saya tidak butuh tabungan perumahan rakyat karena saya saat ini masih berjuang untuk melunasi KPR tersebut,” kata Rahmat.
Perkara ini dimohonkan oleh 11 serikat pekerja yang merasa keberatan atas kewajiban iuran UU Tapera dengan potongan gaji 2,5 persen.
Mereka meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kata “wajib” dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Tapera agar diubah menjadi “dapat” yang sifatnya kepada pilihan.
MK juga diminta menyatakan Pasal 9 Ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai Pekerja sebagaimana dimaksud Pasal 7 Ayat (1) “yang secara sukarela memilih menjadi peserta” wajib didaftarkan oleh pemberi kerja.