Home / Peristiwa / RKUHAP 2025 dan KUHP Nasional Dinilai Tidak Sinkron

RKUHAP 2025 dan KUHP Nasional Dinilai Tidak Sinkron

Jakarta Rancangan Kitab Umum Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 dinilai belum selaras dengan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) Nasional. Subtansi yang dinilai tidak selaras di antaranya ultimum remedium, pedoman pemidanaan, serta sinkronisasi dalam pelaksanaan pidana dan tindakan, ketidakterpaduan antara penyidikan dan penuntutan.Oleh karena itu, RKUHAP 2025 dianggap tidak mampu menjamin keadilan dan hak asasi manusia dalam setiap proses hukum.Hal itu disampaikan Pakar Hukum Peradilan Anak dari Universitas Binus, Ahmad Sofian dalam Seminar Nasional “Menakar Keselarasan Pengaturan Upaya Paksa dan Pemidanaan dalam RKUHAP 2025 dengan Tujuan dan Pedoman Pemidanaan KUHP Nasional” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH UNDIP) bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI) pada 26 Mei 2025.Dia menyatakan, meskipun dalam penjelasan RKUHAP 2025 disebutkan bahwa sistem yang dianut adalah integrated criminal justice system, namun pada kenyataannya hubungan antarinstitusi penegak hukum masih berjalan sendiri-sendiri.Dominasi Polri sebagai penyidik utama dinilainya menimbulkan ketimpangan dengan PPNS dan penyidik lain yang mengganggu prinsip sistem peradilan pidana terpadu.”Di sisi lain, pasal-pasal yang mengatur kewenangan penyidik seperti Pasal 7 ayat (1) dan ayat (5) memberikan keleluasaan yang sangat besar untuk melakukan penghentian penyidikan, bahkan tanpa pelibatan jaksa. Ini menandakan bahwa penuntutan belum dipahami sebagai lanjutan dari proses penyidikan yang terkoordinasi secara substansial dan bukan sekadar administratif,” ujar Sofian dalam keterangan tertulis, Rabu (28/05/2025).Selain itu, kata Sofian, beberapa ketentuan RKUHAP 2025 juga memungkinkan penyidik Polri menghentikan penyidikan tanpa melibatkan jaksa, serta memberi ruang dominasi dalam mekanisme pemberian izin upaya paksa oleh penyidik non-Polri.”Ini tidak mencerminkan sistem terpadu, melainkan sistem subordinatif yang membuka ruang konflik kewenangan dan pengabaian prinsip checks and balances,” kata Sofian.Sofian melemparkan kritikan tajam pada definisi penyelidikan dan penyidikan dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 5 RKUHAP.”Proses penyelidikan sebagaimana dijelaskan dalam RKUHAP tampak tidak sederhana karena dalam praktiknya telah merambah ke wilayah penyidikan. Banyak tindakan dalam tahap penyelidikan yang seharusnya masuk kategori penyidikan, termasuk penerapan upaya paksa. Namun sayangnya, tidak ada mekanisme pengawasan dalam tahap ini,” jelasnya. Dalam forum yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson menyoroti RKUHAP 2025 belum mengakomodasi penyelesaian perkara di luar pengadilan secara utuh dan setara dengan perkembangan KUHP.Febby menekankan bahwa KUHP Nasional sudah mengakui keberadaan pelaku korporasi, namun RKUHAP 2025 belum mengatur tata cara pemeriksaan, penuntutan, dan pelaksanaan putusan terhadap badan hukum.Di sisi lain, mekanisme seperti Restorative Justice (RJ), Plea Bargaining, dan Deferred Prosecution Agreement (DPA) disebutnya perlu diatur secara eksplisit. Febby mengingatkan bahwa RJ tidak bisa diterapkan untuk semua perkara, terutama perkara tanpa korban langsung, dan harus dilakukan dalam kerangka koordinasi jaksa-penyidik sejak tahap awal.”Plea bargaining dan DPA sangat berguna untuk menyelesaikan perkara secara efisien dan adil, tetapi hingga kini belum mendapat legitimasi dalam RKUHAP. Kasus-kasus besar seperti Rolls Royce menunjukkan bahwa dengan DPA, negara bisa menghindari kerugian besar, menjaga stabilitas ekonomi, sekaligus tetap menegakkan keadilan,” paparnya.Lebih jauh Febby menyoroti bahwa penggunaan Perma dan Perja sebagai satu-satunya dasar dalam penanganan perkara korporasi atau penyelesaian alternatif tanpa adanya dasar KUHAP membuka ruang disparitas dan ketidakpastian hukum.”Jika RKUHAP tetap menutup mata terhadap dinamika ini, maka sistem hukum acara pidana Indonesia akan semakin tertinggal dari standar internasional dan praktik peradilan modern di negara-negara lain,” lanjutnya. Seminar ASPERHUPIKI beserta Fakultas Hukum Undip yang turut dihadiri Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Retno Saraswati ini menghasilkan enam rekomendasi terkait pembahasan RKUHAP 2025.Rekomendasi pertama, RKUHAP 2025 harus secara nyata merefleksikan nilai-nilai baru KUHP Nasional, terutama prinsip ultimum remedium dan pedoman pemidanaan berbasis keadilan dan proporsionalitas.Rekomendasi kedua yaitu penahanan harus tunduk pada prinsip kehati-hatian, dengan standar pembuktian yang kuat dan pengawasan ketat dari hakim sejak tahap awal (pre-factum), sebagaimana dituntut oleh standar HAM internasional.Akademisi juga menekankan perlunya pengaturan komprehensif terhadap penyelesaian perkara di luar pengadilan, termasuk restorative justice, plea bargain, dan DPA untuk korporasi, dengan pengawasan yang memadai.Sedangkan rekomendasi keempat, modernisasi hukum acara pidana harus mengintegrasikan teknologi secara adil dan inklusif, tidak sekadar mencantumkan e-court dalam pasal, tetapi juga menjamin akses publik, keabsahan pembuktian, dan perlindungan saksi serta terdakwa.Rekomendasi kelima, RKUHAP perlu membenahi struktur kelembagaan penyidikan dengan menghapus konsep “Penyidik Utama” yang berpotensi menimbulkan subordinasi antarpenyidik dan merusak prinsip kesetaraan. Keterlibatan Jaksa harus ditegaskan sejak awal proses penyidikan untuk menjamin due process of law.Selain itu, perlu diatur secara eksplisit mekanisme penyidikan tambahan agar tidak menjadi celah penyalahgunaan wewenang oleh penyidik dan tetap melindungi hak-hak tersangka.Rekomendasi terakhir, RKUHAP perlu sinkron dengan semangat dan struktur KUHP Nasional, baik dari segi materi, prosedur, maupun kelembagaan, agar tidak terjadi fragmentasi hukum yang merugikan keadilan. 

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *