JAKARTA, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarini menilai, perkawinan anak menjadi persoalan bangsa yang memperlihatkan penurunan moral, nilai, atau standar perilaku pada generasi.
“Ini sudah menjadi persoalan bangsa di mana persoalan degradasi generasi, degradasi moral yang bermula dari perkawinan anak,” imbuh Diyah saat dihubungi , Senin (25/5/2025).
Diyah menegaskan, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak telah dijelaskan bahwa prinsip perlindungan anak harus dipegang teguh oleh orangtua.
“Dalam hal ini untuk kepentingan terbaik bagi anak dan orangtua harus menjamin tumbuh kembang anak,” ucapnya.
Baca juga: KPAI Minta Pihak yang Fasilitasi Pernikahan Anak di Lombok Diberi Efek Jera
Kasus pernikahan anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang justru difasilitasi orangtua dinilai telah melanggar kesempatan anak untuk berkembang, termasuk dalam memperoleh hak pendidikan.
“Orangtua memberikan kesempatan pada anak atau memfasilitasi anak untuk melakukan perkawinan itu artinya ada pelanggaran terhadap hak anak yang dilakukan oleh orangtuanya,” kata dia.
Menurut Diyah, perkawinan anak dapat memunculkan persoalan sosial ekonomi baru dan meningkatkan angka kriminalitas.
“Persoalan sosial ekonomi di masyarakat kita memang paling banyak bermula dari perkawinan anak, sehingga kalau kami menyarankan ini menjadi tugas bersama lintas kementerian dan sektor,” tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Dusun Petak Daye I, Desa Beraim, Praya Tengah, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Syarifudin, meminta maaf atas kegaduhan yang muncul terkait viralnya video pernikahan anak di Lombok.
Baca juga: Ramai Pernikahan Anak di Bawah Umur di Lombok, Berapa Usia Ideal Menikah?
“Saya sebagai Kepala Dusun memohon maaf atas kegaduhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, namun sudah kita berupaya semaksimal mungkin, namun apalah daya kami,” kata Syarifudin saat ditemui di kediamannya, Sabtu (24/5/2025).
Syarifudin menjelaskan bahwa tiga minggu sebelum video pernikahan tersebut viral, pihaknya bersama Kepala Desa telah berusaha memisahkan kedua pengantin, setelah pengantin pria melarikan pengantin perempuan, yang merupakan bagian dari tradisi merariq.
Pengantin perempuan berusia 15 tahun dan masih duduk di bangku SMP, sedangkan pengantin pria berusia 17 tahun dan sudah putus sekolah saat kelas 2 SMK.
Setelah kembali ke Lombok, Kepala Dusun berusaha memberitahukan pihak perempuan bahwa anaknya akan dipisahkan dan dikembalikan kepada orangtuanya.
Namun, orang tua pengantin perempuan menolak karena anak mereka telah dibawa kabur.
Pernikahan tersebut akhirnya terjadi dengan persetujuan orangtua.
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram telah melaporkan kasus viralnya pernikahan anak di Lombok ke Polres Lombok Tengah, termasuk pihak-pihak yang memfasilitasi perkawinan tersebut.
Kepala LPA Mataram, Joko Jumadi, menegaskan bahwa pernikahan anak di bawah umur dapat dipidana dengan ancaman hukuman 9 tahun.
Larangan perkawinan usia anak diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).