BANDUNG, Pergerakan tanah tercatat terjadi tiga kali di Kampung Cigintung RT 008/006 dan Kampung Sukamulya RT 004/001, Desa Pasirmunjul, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Peristiwa pertama terjadi pada Minggu (20/4/2025) sekitar pukul 22.00 WIB, kedua pada Rabu (23/4/2025) pukul 20.00 WIB, dan ketiga pada Senin (19/5/2025) pukul 07.00 WIB.
“Berdasarkan interpretasi dari foto dan laporan dari BPBD Kabupaten Purwakarta, gerakan tanah berupa rayapan yang ditandai dengan munculnya retakan pada permukaan dan bangunan. Gerakan tanah ini bergerak lambat namun sering menimbulkan dampak yang luas,” ucap Kepala Badan Geologi, M. Wafid, dalam keterangan analisisnya, Senin (26/5/2025).
Gerakan tanah tersebut berdampak pada 41 rumah rusak ringan, lima rumah rusak sedang, dan dua rumah rusak berat.
Baca juga: Pergerakan Tanah di Tasikmalaya, 100 Bangunan Rusak dan 42 Keluarga Mengungsi
Menurut analisis Badan Geologi, morfologi daerah bencana merupakan perbukitan dengan kemiringan lereng yang agak curam hingga curam. Lokasi berada pada ketinggian 370 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa (Sudjatmiko, 1972), batuan penyusun daerah bencana terdiri dari endapan Aluvium Tua (Qoa) yang mengandung konglomerat dan pasir sungai bersusunan andesit serta basal, serta endapan batupasir tufan dan konglomerat (Qos) yang berasal dari endapan lahar.
Peta Prakiraan Wilayah Terjadinya Gerakan Tanah pada Mei 2025 di Kabupaten Purwakarta menunjukkan lokasi tersebut berada di zona potensi gerakan tanah menengah hingga tinggi.
“Artinya daerah ini mempunyai potensi menengah hingga tinggi untuk terjadi gerakan tanah apabila dipicu oleh curah hujan yang tinggi atau di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan, gerakan tanah lama dapat aktif kembali,” ucapnya.
Baca juga: Pergerakan Tanah Bikin Warga Cikondang Tasikmalaya Resah jika Hujan Mengguyur Desa…
Wafid menambahkan, penyebab utama gerakan tanah di lokasi ini antara lain adalah kemiringan lereng yang curam, tanah pelapukan yang tebal dan mudah jenuh air, serta tingginya curah hujan.
“Tanah pelapukan yang tebal yang bersifat poros serta mudah jenuh, dan curah hujan tinggi yang menyebabkan tanah jenuh air,” lanjutnya.
Karena kondisi tanah masih rawan dan hujan masih sering terjadi, Badan Geologi merekomendasikan agar warga lebih waspada, terutama saat hujan. Warga diminta tidak menggunakan bagian rumah yang rusak berat, segera memperbaiki bangunan rusak, dan terus memantau perkembangan retakan dan nendatan.
“Jika terjadi perkembangan yang menerus pada retakan yang telah ada dan muncul rembesan air baru atau hilangnya mata air lama atau ada perubahan mata air dari bening menjadi keruh agar segera mengungsi dan melaporkan ke pemerintah daerah setempat,” ucapnya.
Jika retakan meluas, Wafid menyarankan pemukiman yang terdampak direlokasi ke tempat yang lebih aman.
Ia juga menekankan pentingnya penanganan teknis seperti menutup retakan dengan tanah liat dan memadatkannya untuk memperlambat masuknya air ke dalam tanah.
“Lereng juga disarankan ditanami dengan tanaman berakar kuat dan dalam yang mampu mengikat tanah. Serta diperlukannya pengendalian air permukaan yang kedap air dengan cara perencanaan tata saluran permukaan, pengendalian air rembesan serta pengaliran parit pencegat yang diarahkan ke sungai,” kata Wafid.