Setiap musim semi, langit malam Australia menjadi panggung bagi salah satu migrasi paling menarik di dunia serangga. Jutaan bahkan miliaran ngengat bogong (Agrotis infusa) meninggalkan daerah panas di tenggara Australia dan terbang hingga 1.000 kilometer menuju gua-gua dingin di Pegunungan Alpen Australia, tempat mereka akan tidur musim panas (aestivasi) hingga musim gugur tiba.
Namun, pertanyaannya selalu sama: bagaimana ngengat ini bisa menemukan gua yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya? Apalagi, umur mereka hanya setahun, jadi tidak mungkin mereka mengandalkan pengalaman pribadi.
Kini, untuk pertama kalinya, para ilmuwan membuktikan bahwa jawaban dari misteri ini terletak di langit malam berbintang.
Baca juga: Bagaimana Kelelawar Menentukan Arah Migrasi Tanpa Tersesat?
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Nature, tim peneliti dari berbagai institusi—termasuk Lund University dan Francis Crick Institute—membuktikan bahwa ngengat bogong mampu membaca pola bintang untuk menentukan arah terbang.
“Selama ini kita tahu burung dan manusia bisa menggunakan bintang untuk navigasi jarak jauh, tapi ini pertama kalinya terbukti pada serangga,” ujar Profesor Eric Warrant, salah satu peneliti utama.
Dengan menggunakan simulator penerbangan dan lingkungan netral magnetis, para ilmuwan mengamati bahwa ngengat tetap terbang ke arah yang benar—menuju selatan saat musim semi dan utara di musim gugur—meskipun medan magnet Bumi dihilangkan dan hanya bintang yang tersisa sebagai petunjuk.
Dan saat pola bintang diputar 180 derajat, ngengat pun mengubah arah terbangnya. Tetapi ketika bintang-bintang itu diacak, arah terbang mereka menjadi kacau. Ini membuktikan bahwa mereka tidak sekadar mengikuti cahaya terang, melainkan membaca pola langit secara aktif, seperti burung migran.
Baca juga: Polusi Cahaya Bikin Hewan Disorientasi Arah
Kehebatan ngengat bogong bukan hanya soal rute, tapi juga soal kompensasi terhadap rotasi langit malam, mirip seperti peta bintang mental yang digunakan kumbang kotoran untuk kembali ke rumah.
Namun, perjalanan ngengat jauh lebih kompleks. Menurut David Dreyer, zoolog dari Lund University, “Kalau kumbang hanya butuh 10 menit untuk menjauh dari tumpukan kotoran, ngengat bogong terbang selama berminggu-minggu, dalam kegelapan, tanpa GPS.”
Dengan ukuran otak hanya sepersepuluh butiran beras, mereka mampu mengarahkan diri secara presisi dalam jangka panjang. “Jika mereka meleset lima derajat saja di malam pertama, mereka bisa tersesat sejauh 90 kilometer setelah 1.000 kilometer perjalanan,” kata Dreyer. “Itu seperti manusia berjalan 1.000 km di malam hari tanpa kompas.”
Baca juga: Jumlah Burung yang Lakukan Migrasi Menurun, Apa Sebabnya?
Untuk memahami mekanismenya, Andrea Adden, ahli saraf dari Francis Crick Institute, menggunakan teknik elektrofisiologi sel tunggal. Jarum elektroda mikro dimasukkan ke otak ngengat saat ia disuguhkan gambar langit berbintang yang diputar.
Hasilnya mengejutkan: 28 neuron merespons perubahan orientasi bintang, tapi tidak merespons gambar langit yang acak. Neuron ini terletak di area otak yang mengatur navigasi dan kemudi, dan paling aktif ketika ngengat menghadap arah selatan.
“Ini menunjukkan bahwa otak ngengat mengkodekan informasi bintang dengan cara yang sangat canggih, jauh melebihi ekspektasi kita terhadap otak serangga sekecil ini,” jelas Adden.
Baca juga: Sayap Ngengat di Perkotaan Jadi Lebih Kecil karena Polusi Cahaya
Meski kemampuan membaca bintang sudah luar biasa, ngengat bogong juga memiliki kompas cadangan. Ketika langit tertutup awan dan bintang tidak terlihat, mereka tetap bisa melanjutkan perjalanan dengan bantuan medan magnet Bumi.
Kombinasi dua sistem navigasi ini menjamin konsistensi arah dalam kondisi cuaca yang tidak menentu, dan menjadikan mereka model inspiratif untuk teknologi robotik dan sistem navigasi drone masa depan.