Jakarta Pemerintah kembali meluncurkan stimulus fiskal tahap kedua senilai Rp24,44 triliun yang dijadwalkan disalurkan pada Juni hingga Juli 2025.Tujuan utama dari stimulus ini adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta memperkuat daya beli masyarakat, yang menjadi penyumbang utama Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.Namun, meskipun kebijakan ini merupakan langkah positif, sejumlah indikator menunjukkan bahwa suntikan dana ini belum cukup kuat untuk membalikkan tren pelemahan konsumsi rumah tangga dalam waktu dekat.Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87% secara tahunan (year-on-year), angka terendah dalam tiga tahun terakhir di luar masa pandemi.Stefanus Dennis Winarto, Chief Investment Officer PT Inovasi Finansial Teknologi (Makmur), menyatakan bahwa meskipun ada faktor musiman seperti Ramadan dan Idulfitri serta berbagai insentif pemerintah seperti subsidi listrik dan bantuan transportasi, dampaknya terhadap konsumsi belum signifikan.“Realisasi PDB tetap berada di bawah 5%, menandakan bahwa tekanan terhadap daya beli masih tinggi dan stimulus belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pemulihan ekonomi,” jelas Stefanus dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (13/6/2025).Porsi konsumsi rumah tangga yang menyumbang 54,53% terhadap PDB hanya tumbuh 4,89% yoy, lebih rendah dari periode sama tahun sebelumnya.Hal ini menandakan bahwa tekanan terhadap daya beli masyarakat masih tinggi. Terlebih lagi, stimulus yang baru dimulai pertengahan tahun membuat dampaknya belum langsung terasa di sektor konsumsi. Tren konsumsi masyarakat yang menurun juga tercermin dari data Bank Indonesia per April 2025. Proporsi konsumsi terhadap pendapatan turun dari 75,3% menjadi 74,8%, sementara alokasi untuk tabungan naik dari 13,8% menjadi 14,8%. Pertumbuhan kredit konsumsi juga melambat menjadi 8,9% yoy, dari sebelumnya 9,2% yoy.Selain itu, jumlah pengangguran naik menjadi 7,28 juta orang pada Februari 2025, bertambah sekitar 83 ribu dibandingkan tahun sebelumnya.Sementara itu, inflasi menunjukkan tren deflasi selama dua bulan berturut-turut, yaitu 0,05% mom pada April dan 0,37% mom pada Mei, yang dinilai sebagai sinyal lemahnya daya beli masyarakat. Melihat situasi ekonomi yang masih penuh ketidakpastian, investor disarankan untuk menyesuaikan strategi portofolio keuangan mereka.Stefanus menyarankan pengalihan ke instrumen berisiko rendah seperti reksa dana pendapatan tetap, yang mayoritas berisi obligasi pemerintah dan korporasi, karena dinilai lebih stabil dibandingkan saham dan mampu memberikan pendapatan rutin.Diversifikasi juga penting dilakukan, salah satunya melalui reksa dana campuran yang menggabungkan saham, obligasi, dan pasar uang secara seimbang.Sementara bagi yang mengutamakan likuiditas, reksa dana pasar uang menjadi pilihan ideal karena berinvestasi pada aset jangka pendek seperti deposito dan obligasi jangka pendek, yang menawarkan kestabilan dan fleksibilitas tinggi.
Pemerintah Harus Lakukan Ini Demi Dongkrak Daya Beli

Tag:Breaking News