JAKARTA, Temuan Komnas HAM terkait pelibatan warga sipil dalam kegiatan pemusnahan amunisi TNI Angkatan Darat (AD) di Garut, menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam tata kelola pertahanan dan sistem pengawasan kegiatan militer berisiko tinggi di luar kawasan tertutup.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, dalam standar internasional seperti United Nations SaferGuard dan International Ammunition Technical Guidelines (IATG), aktivitas dengan risiko tinggi seperti pemusnahan amunisi seharusnya hanya dilakukan oleh personel yang memiliki pelatihan dan sertifikasi teknis yang memadai.
“Dalam standar internasional, terutama United Nations SaferGuard dan International Ammunition Technical Guidelines (IATG), sangat jelas bahwa aktivitas dengan tingkat risiko tinggi seperti pemusnahan amunisi hanya boleh dilakukan oleh personel dengan pelatihan dan sertifikasi teknis yang memadai,” kata Fahmi, kepada , Jumat (23/5/2025) malam.
Baca juga: Apa Temuan Komnas HAM soal Ledakan Amunisi di Garut?
“Pelibatan masyarakat sipil, apalagi tanpa perlindungan yang layak, bertentangan dengan prinsip dasar perlindungan terhadap non-kombatan,” tambah dia.
Fahmi menambahkan, secara normatif, kejadian ini juga berpotensi melanggar prinsip keselamatan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan regulasi perlindungan lingkungan hidup.
“Setiap kegiatan yang menyebabkan dampak fisik maupun psikologis terhadap warga dan lingkungan sekitar, mestinya juga dipertimbangkan lebih serius. Karena ini bukan hanya soal skema kompensasi, tetapi juga soal tanggung jawab sosial dan hak atas rasa aman warga,” ujar dia.
Meski demikian, Fahmi mengingatkan agar persoalan ini tidak semata-mata dilihat sebagai kelalaian dari satu institusi.
Baca juga: Ormas Minta Rp 5 Miliar untuk Keluar dari Lahan BMKG, Ketua MPR: Fenomena Ini Mengusik
Temuan ini, menurutnya, juga mencerminkan keterbatasan kapasitas dan ekosistem pendukung yang dihadapi TNI di lapangan.
“Ini bagian dari persoalan yang lebih luas tentang tata kelola logistik pertahanan, integrasi zona pertahanan dalam tata ruang, serta masih lemahnya sinergi antarsektor, terutama dalam konteks pengawasan dan akuntabilitas kegiatan berisiko tinggi di luar kawasan militer tertutup,” ungkap Fahmi.
Diketahui, ledakan saat pemusnahan amunisi kedaluwarsa milik TNI AD di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada 12 Mei 2025, menewaskan 13 orang, terdiri dari empat prajurit TNI dan sembilan warga sipil.
Komnas HAM menyebutkan, sembilan korban warga sipil dalam pemusnahan amunisi itu tidak dibekali pelatihan tersertifikasi dan hanya belajar secara otodidak.
Baca juga: TNI AD: Investigasi Tragedi Peledakan Amunisi Garut Sudah Rampung
Anggota Komnas HAM RI Uli Parulian Sihombing mengatakan, sipil yang bekerja ini hanya belajar secara otodidak dari sipil lainnya yang pernah melakukan pekerjaan pemusnahan amunisi tersebut.
“Para pekerja belajar secara otodidak bertahun-tahun, tidak melalui proses pelatihan yang tersertifikasi,” kata Uli, dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat.
Padahal, dari catatan Komnas HAM dalam pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa, pelibatan sipil dalam urusan amunisi harus memiliki keahlian yang spesifik.
“Pedoman PBB terkait keterlibatan sipil dalam penanganan dan pemusnahan amunisi memang memberikan ruang pelibatan pihak lain dalam kegiatan sejenis, tetapi dengan syarat keahlian spesifik atau kompetensi tertentu,” ucap Uli.