Home / Jawa Timur / Ojung, Jejak Keberanian dan Doa dalam Ritual Leluhur Madura

Ojung, Jejak Keberanian dan Doa dalam Ritual Leluhur Madura

Jakarta – Pulau Madura memiliki tradisi yang begitu kuat dalam menjalin hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan tak kasat mata. Salah satu warisan budaya yang sarat makna spiritual dan kekuatan simbolik itu adalah Ojung.Sebuah ritual adat yang tidak hanya mempertontonkan keberanian fisik semata, tetapi juga menyimpan doa mendalam untuk keselamatan dan keberkahan hidup, khususnya dalam bidang pertanian. Tradisi Ojung telah berlangsung turun-temurun di berbagai pelosok desa di Madura, terutama di daerah pedalaman seperti Sumenep dan Pamekasan, di mana masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai leluhur.Ojung dilakukan sebagai bentuk persembahan kepada alam dan Sang Pencipta, dalam harapan agar tanah yang mereka garap senantiasa subur, cuaca bersahabat, serta hasil panen melimpah. Ia merupakan peneguhan ikatan spiritual masyarakat Madura dengan alam semestaikatan yang diikat bukan hanya oleh doa dalam diam, tetapi oleh dentuman rotan dan peluh yang tumpah dalam semangat kolektif.Ritual Ojung biasanya dilangsungkan di musim kemarau, ketika lahan-lahan mulai gersang dan pertanian terancam oleh kekeringan. Inilah saat di mana masyarakat merasa perlu memanggil kekuatan dari dimensi lain, agar hujan segera turun dan kehidupan kembali tumbuh.Acara dimulai dengan berbagai persiapan yang melibatkan seluruh warga. Sesajen disiapkan, doa-doa dilantunkan oleh tokoh spiritual desa, dan panggung sederhana berupa arena terbuka dibersihkan untuk menjadi tempat berlangsungnya adu ketangkasan dan ketahanan fisik yang disebut sebagai permainan Ojung.Dua pria dewasa akan berdiri saling berhadapan, masing-masing memegang seutas rotan lentur yang digunakan untuk saling mencambuk secara bergantian. Tubuh mereka telanjang dada, hanya dibalut kain sarung, sebagai bentuk kesiapan menerima luka demi keselamatan dan kesuburan bersama.Namun yang patut dicatat, ritual ini bukan tentang dendam atau permusuhan, melainkan tentang keteguhan hati, keikhlasan menerima penderitaan demi tujuan yang lebih tinggi, dan pengorbanan individu demi kebaikan komunal.Setiap cambukan adalah simbol doa yang mengudara, dan setiap luka yang terbuka adalah persembahan tulus kepada alam agar hujan segera turun. Meski secara kasat mata Ojung tampak keras, bahkan brutal, di balik itu terselip etika dan aturan adat yang ketat.Tidak sembarang orang boleh ikut, hanya yang dianggap mampu secara spiritual dan fisik yang diberi izin oleh tetua adat. Selain itu, para peserta harus saling memaafkan sebelum dan sesudah pertarungan berlangsung.Penonton pun turut terlibat, bukan hanya sebagai saksi, tetapi sebagai bagian dari ritual itu sendiri, karena melalui sorak-sorai dan semangat yang mereka pancarkan, energi kolektif terbentuk dan memperkuat dimensi spiritual dari Ojung.Seusai pertarungan, biasanya diadakan doa bersama dan makan tumpeng sebagai simbol syukur dan harapan baru. Hal ini menunjukkan bahwa Ojung bukanlah ritual kekerasan, melainkan bentuk komunikasi manusia Madura dengan semesta, di mana kekuatan fisik dan spiritual menyatu dalam satu panggung pengharapan.Seiring berjalannya waktu, Ojung tidak hanya menjadi ritual, tapi juga cermin identitas masyarakat Madura yang teguh, berani, dan religius, yang percaya bahwa keberkahan hidup tak hanya dicapai lewat kerja keras, tetapi juga lewat doa dan pengorbanan yang sungguh-sungguh.Kini, di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang mengikis banyak nilai-nilai tradisional, Ojung tetap bertahan sebagai simbol perlawanan terhadap hilangnya akar budaya.Banyak kalangan muda mulai kembali tertarik mempelajari makna dan nilai dari ritual ini, bukan hanya sebagai tontonan budaya yang eksotis, melainkan sebagai warisan spiritual yang masih relevan. Bahkan, beberapa desa telah memasukkan Ojung sebagai bagian dari atraksi budaya tahunan yang diperkenalkan kepada wisatawan, dengan tetap menjaga esensi sakralnya.Pemerintah daerah pun turut mendukung pelestarian Ojung dengan menjadikannya sebagai warisan budaya tak benda, agar generasi mendatang tak kehilangan koneksi dengan sejarah dan filosofi luhur yang mengajarkan bahwa keberanian sejati bukanlah tentang melukai orang lain, melainkan tentang bersedia merasakan sakit demi kebaikan bersama.Ojung bukan sekadar ritual, ia adalah pernyataan hidup masyarakat Madura bahwa di antara debu dan rotan yang berayun, terselip harapan besar akan hujan, kesuburan, dan keselamatan bagi semua. Penulis: Belvana Fasya Saad

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *