JAKARTA, KOMPAS.com – Setelah hampir satu dekade berjalan, bisnis transportasi daring di Indonesia menghadapi tantangan serius, terutama dari sisi kesejahteraan para pengemudinya.
Janji manis penghasilan besar yang digaungkan saat awal kemunculan layanan ini ternyata jauh dari kenyataan.
Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, mengatakan bahwa banyak pengemudi ojek daring kini hidup dalam ketidakpastian ekonomi dan sosial.
Baca juga: Biaya Balik Nama Kendaraan Bermotor Sudah Gratis
Rata-rata pendapatan pengemudi ojek daring kini di bawah Rp 3,5 juta per bulan, meski mereka bekerja 8–12 jam per hari, 30 hari penuh tanpa libur.
Kondisi ini jauh dari layak jika dibandingkan dengan standar ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Transportasi daring bisnis gagal, drivernya kerap mengeluh dan demo. Sementara pengemudi ojek daring sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatannya karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar,” ujar Djoko kepada Kompas.com, Senin (19/5/2025).
Baca juga: Tanpa Perlu ke Samsat, Begini Cara Mudah Perpanjang STNK
Label “mitra” yang disematkan oleh perusahaan aplikator justru menempatkan para pengemudi dalam posisi lemah.
Tidak ada kepastian penghasilan, tidak ada perlindungan kerja, tidak ada jaminan kesehatan, dan jumlah pengemudi dibiarkan membeludak tanpa kendali, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand yang semakin menekan pendapatan.
“Bekerja tidak dalam kepastian, status keren sebagai mitra akan tetapi realitanya tanpa penghasilan tetap, tidak ada jadwal hari libur, tidak ada jaminan kesehatan, jam kerja tidak terbatas,” kata Djoko, yang merupakan Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat.
Namun, yang lebih mendasar, ojek daring saat ini telah menjelma sebagai angkutan umum, tetapi tanpa tunduk pada regulasi yang berlaku bagi moda transportasi umum. “Jika ingin sebagai angkutan umum, otomatis segala persyaratan dan hal-hal yang berlaku bagi angkutan umum juga berlaku pula bagi sepeda motor yang berfungsi sebagai angkutan umum,” ucap Djoko.
Baca juga: Begini Wujud Suzuki S-Presso Berwajah Jimny
“Seperti wajib melakukan uji berkala (KIR), wajib dilengkapi perlengkapan, SIM C Umum, pelat nomor kendaraan berwarna kuning, tarif ditetapkan perusahaan angkutan umum (bukan aplikator seperti sekarang) atas persetujuan pemerintah,” ujarnya.
Solusi konkret sebenarnya sudah ada.
Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, sejak 2011 telah mengatur ojek sebagai angkutan umum resmi dengan pelat kuning.
Baca juga: Demo Besar Ojol Besok, Hindari Ruas Jalan Berikut Ini
Kendaraannya menggunakan sepeda motor listrik, dan telah diatur melalui Perda dan Perbup.
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta bisa mencontoh pendekatan ini dengan membuat aplikasi transportasi daring sendiri dan menetapkan ojek sebagai angkutan umum resmi.
Dengan begitu, pengemudi bisa memperoleh akses ke BBM subsidi, jaminan sosial dan kesehatan, pengaturan tarif yang adil, hingga batasan jumlah pengemudi sesuai kapasitas pasar.
Baca juga: Filipina Geser Indonesia Jadi Pasar Terbesar Mitsubishi
Contoh lain datang dari Pemerintah Korea Selatan, yang membuat aplikasi khusus untuk layanan taksi guna melindungi sopir lokal dari tekanan perusahaan besar dan disrupsi asing.
Hasilnya, pengemudi bisa tetap beroperasi dengan sistem digital tanpa kehilangan hak-haknya sebagai pekerja formal.