Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan untuk mengakhiri polemik sengketa kepemilikan empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek akhirnya diputuskan masuk ke wilayah administrasi Provinsi Aceh.Keputusan tersebut disampaikan usai Rapat Terbatas yang digelar di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (17/6). Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengumumkan hasil rapat tersebut kepada publik sebagai bentuk transparansi kebijakan pemerintah.Keputusan tersebut meredakan ketegangan yang terjadi antara Pemprov Aceh dan Pemprov Sumut. Sebelumnya, Gubernur Aceh Muzakkir Manaf dan Gubernur Sumut Bobby Nasution sempat bertemu di Banda Aceh untuk membicarakan pengelolaan bersama keempat pulau tersebut.Perebutan kepemilikan terhadap empat pulau tersebut sebenarnya telah terjadi sejak era pemerintahan Presiden RI pertama Sukarno. Masalah itu diselesaikan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, untuk memastikan wilayah administrasi empat pulau tersebut.Pada tahun 1992, kepemilikan keempat pulau tersebut kembali disepakati sebagai milik Aceh. Hal ini berdasarkan kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hassan, dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, yang melihat titik batas berpedoman pada Peta Topografi TNI Angkatan Darat Tahun 1978 dan Kesepakatan Bersama Tahun 1988.“Kesepakatan itu disaksikan sendiri oleh Menteri Dalam Negeri kala itu, Rudini. Namun, dokumentasi itu tidak ada di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri),” ujar Anggota Komisi III DPR RI dan Anggota Tim Perumus Perjanjian Helsinki RI-GAM Mohammad Nasir kepada Katadata.co.id.Kemendagri pun tidak tinggal diam. Kementerian yang dipimpin Tito Karnavian ini terus mencari dokumen-dokumen kesepakatan terkait kepemilikan empat pulau tersebut. Akhirnya, Mendagri Tito Karnavian menemukan dokumen tersebut pada tanggal 17 Juni 2025.Mendagri Tito mengatakan dokumen asli berisi kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 1992 ditemukan di Gedung Arsip Kemendagri, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Dokumen ini berisi penegasan bahwa Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Pulau Panjang itu masuk wilayah Aceh.Untuk mengetahui kronologi tentang polemik empat pulau ini, Editor Katadata.co.id Saugi Riyandi dan Reporter Katadata.co.id Ade Rosman menemui Legislator asal Aceh Mohammad Nasir Djamil di ruang kerjanya, Gedung DPR RI. Nasir merupakan salah satu saksi sejarah polemik ini.Berikut petikan wawancaranya:Pak Nasir, polemik terkait status kepemilikan keempat pulau yang diperebutkan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara ini sebenarnya bagaimana kronologinya? Polemik terjadi karena keputusan Kemendagri yang mengalihkan keempat pulau itu ke wilayah Provinsi Sumut. Jadi, Kemendagri itu punya otoritas tetapi minus sensitivitas. Dia tidak sensitif dengan regulasi yang ada, dia tidak sensitif dengan situasi dan kondisi Aceh itu sendiri.Pertama, regulasi. Aceh kan punya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Kawasan Khusus. Undang-undang ini hasil kesepakatan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintahan Indonesia, yang diawali dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki tahun 2005.Jadi, tahun 2005 itu ada perjanjian damai. Salah satu poin MoU Helsinki itu adalah dibuatnya UU baru tentang Aceh. Sebelumnya, Aceh juga memiliki UU Nomor 18 Tahun 2001. Tapi, karena GAM waktu itu tidak terlibat dalam pembentukan undang-undang ini, mereka menolak undang-undang ini dan tetap berjuang dengan senjata mereka.Ketika damai pada tahun 2005, lalu dalam poin MoU itu ada perubahan undang-undang terkait Aceh, mereka pun ikut terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Kawasan Khusus.Jadi, di dalam pasal 8 UU Nomor 11 tahun 2006 itu disebutkan bahwa segala keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang terkait dengan Aceh yang sifatnya administratif, harus dikonsultasikan kepada gubernur Aceh.Kalau merujuk kepada undang-undang khusus karena dia lebih tinggi kedudukannya dibandingkan UU di bawahnya, seharusnya Kemendagri berkomunikasi dan berkonsultasi, tapi ini tidak dilakukan. Nah, itu yang saya katakan otoritas minus sensitivitas.Kemudian, pemerintah pusat juga kurang sensitif bahwa Aceh itu daerah yang pernah bergolak dengan gerakan bersenjata. Lalu, situasi damai ini kan harus dipelihara. Jadi, keputusan Kemendagri itu mengganggu suasana damai ini. Istilahnya, pemerintah membangunkan singa tidur.Mungkin karena pemerintah pusat merasa lebih tinggi dari pemerintah daerah. Lalu, mereka (Kemendagri) tidak memiliki kepekaan soal tadi itu. Padahal, kalau misalnya mereka melaksanakan sebagaimana perintah pasal 8 (UU Nomor 11 Tahun 2006) tadi, mungkin tidak terjadi hal seperti ini. Jadi, mereka sudah tidak menilai lagi bahwa itu adalah undang-undang khusus. Di situlah akar masalah sebenarnya.Sengketa soal keempat pulau ini sudah lama sekali perjalanannya, sejak masa Orde Baru pada 1992. Ada kesepakatan bersama antara Raja Inal Siregar sebagai Gubernur Sumatera Utara dengan Ibrahim Hasan sebagai Gubernur Aceh pada waktu itu. Kesepakatan bersama itu memang disepakati empat pulau itu adalah bagian dari wilayah Aceh. Kesepakatan ini juga disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini. Sayangnya, dokumentasi ini tidak ada di Kemendagri.Ini juga satu hal yang harus kita ingatkan. Seharusnya, Kemendagri memiliki dokumentasi atau arsip soal kesepakatan bersama tadi. Kalau memang tidak ada di Kemendagri, bisa cek juga di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Mereka tidak menemukan arsip itu. Kalau misalnya arsip itu ada di Kemendagri, tentu hal ini tidak terjadi.Kelemahan kearsipan Kemendagri ini menjadi catatan ke depan agar hal serupa tidak terulang lagi. Karena apapun ceritanya, aspek historis enggak bisa dilupakan disamping aspek regulasi. Kita banyak juga pulau-pulau, misalnya Kepulauan Seribu, itu kan dekat dengan Tangerang. Tapi kenapa masuk Jakarta? Ada historisnya.Lalu, ada juga Pulau Banda di Maluku. Ada pulau yang dia itu jauh dari Maluku, lebih dekat dengan Kupang tapi masuk ke Maluku. Secara historis pulau itu punya sejarah dengan Maluku. Keempat pulau itu terutama historisnya dengan (Aceh) Singkil. Bahkan, dalam peta Belanda, pulau-pulau itu masuk dalam wilayah Aceh.Status kepemilikan keempat pulau itu berada di wilayah Aceh berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Namun, Mendagri Tito Karnavian kemudian menerbitkan Kepmen Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengalihkannya ke Provinsi Sumatera Utara. Dari kedua regulasi ini jelas kedudukan paling tinggi berada di UU. Apakah seharusnya Kepmendagri itu dibatalkan?Seharusnya, kalau kita lihat hierarki peraturan perundang-undang kan begitu. Walaupun memang pengaturan soal batas-batas wilayah itu keputusannya lewat mendagri. Mungkin undang-undang itu mengamanahkan, memberikan otoritas, memberikan semacam mandatori kepada Kemendagri untuk mengeluarkan keputusan ini lewat Keputusan Menteri.Namun karena ada UU yang lebih spesialis, ada UU khusus, maka dia harus mendahulukan UU khusus itu. Apakah sudah dilaksanakan konsultasi tadi itu? Seharusnya kalau seperti saya katakan tadi, kalau dia lakukan konsultasi, tentu tidak seperti ini.Pembahasan status keempat pulau tersebut telah dilakukan sejak 2008. Namun, Pemprov Sumut sempat mengajukan pada 2009 bahwa keempat pulau ini masuk wilayah Sumut. Apa yang menyebabkan Pemprov Sumut sangat menginginkan keempat pulau ini, apakah memang ada sumber daya migas yang besar atau Anda menilai ada unsur politis di sini?Pemprov Aceh memang mengajukan 260 pulau pada tahun 2009. Empat pulau ini memang tidak termasuk dalam bagian pulau yang diajukan itu karena ada kesalahan koordinat. Biasa lah, ini kan pekerjanya manusia. Mungkin silap mereka, keliru mereka dalam memberikan koordinat, sehingga keempat pulau ini tidak masuk dari 260 nama pulau yang diserahkan itu.Nah, kemudian kekeliruan ini diperbaiki tapi hasil perbaikan itu tidak pernah mau diakui. Walaupun sudah berkirim surat ke Wakil Presiden (Wapres Ma’ruf Amin), ke Mendagri Tito Karnavian, tapi tidak pernah digubris. Tetap saja empat pulau itu masuk dalam wilayah Sumatera Utara. Itu yang kami sesalkan. Kenapa tidak dilakukan konsultasi dengan Gubernur Aceh sesuai dengan pasal 8 Undang-Undang Pemerintah Aceh tersebut.Memang sulit juga kalau dibilang tidak ada unsur politis. Bahkan, ada unsur ekonomis juga. Karena tadi itu, sensitivitas atau kepekaan itu tidak ada. Jadi, kekeliruan tadi sudah diajukan, sudah diperbaiki, kemudian tidak digubris.Kalau berjalan secara alamiah, pasti cepat diperbaiki. Tapi, kalau ada pesanan-pesanan tertentu, bisa dikatakan politis begitu, pasti akhirnya tidak digubris itu.Jadi kekeliruan mereka itu karena tidak peka, bukan karena kondisi alamiah. Ada kondisi di belakang itu, ada cerita di balik berita. Anda pernah menjadi Tim Pemantau DPR RI terhadap implementasi MoU Helsinki antara Pemerintah RI-Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Merunut sejarahnya, pada waktu itu keempat pulau ini memang masuk wilayah Aceh?Oh iya, tahun 1992 sudah disepakati. Bahkan, tahun selanjutnya itu ada pembangunan prasasti dan pengukuran yang dilakukan di situ. Jadi kegiatan-kegiatan itu sudah berlangsung lama. Kalau kita melihat aspek historisnya, yuridisnya, administrasinya, kemudian pengelolaan pulaunya, toponiminya, itu memang tidak ada kata lain bahwa itu milik Aceh. Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.Apakah DPR sudah pernah memberikan masukan untuk mengakhiri polemik mengenai status kepemilikan keempat pulau ini?DPR memberikan masukan ke jalur-jalur yang bisa kami masuki, kepada Pemprov Aceh, DPRD Aceh, dan pihak-pihak terkait, supaya mendengar aspirasi ini. Kami khawatir hal ini akan menyebabkan ketegangan. Ketegangan antara daerah dengan Jakarta (pusat) atau pusat dengan daerah. Bukan hanya Aceh dengan Jakarta, tapi juga Aceh dengan Sumatera Utara.Makanya, kami meminta keputusan (Mendagri) itu dibatalkan. Alasannya, itu melanggar kesepakatan bersama yang sudah dibuat tahun 1992. Keputusan Kemendagri ahistoris, lupa dengan sejarahnya. Itu yang memang kami sesalkan.Presiden Prabowo Subianto pun memberikan sinyal akan membuat aturan baru terkait polemik keempat pulau tersebut. Menurut Anda, aturan apa yang akan dikeluarkan Presiden Prabowo? Apakah aturan ini untuk merevisi UU tahun 1956 tadi?Begini, kalau ada pembentukan daerah baru kan ada undang-undangnya. Undang-Undang pembentukan daerah baru itu bisa UU tentang kabupaten. Nah, memang pasal-pasal yang mengatur perbatasan itu dibuat secara umum. Misalnya, di Selatan berbatasan dengan ini, di Utara berbatasan dengan ini, di Timur berbatasan dengan ini, dan sebagainya. Jadi, (ketentuannya) masih umum, tidak detail. Tapi memang di negeri ini soal perbatasan itu masih pekerjaan rumah yang besar. Jangankan laut, darat saja masih belum kita selesaikan. Nah, kalau soal Aceh Singkil dengan Tapanuli Tengah itu batas daratnya sudah disepakati, yang belum itu batas laut. Jadi, kehadiran Badan Nasional Perbatasan yang bertanggung jawab kepada Kementerian Dalam Negeri.Ini yang harus diselesaikan, karena kaitannya dengan pembentukan undang-undang daerah baru, misalnya batas-batas wilayah itu harus benar-benar detail, tidak bisa secara umum. Kalau tidak, nanti akan jadi bom waktu. Apalagi kalau misalnya ada potensi ekonomi di situ.Pertemuan di Istana Negara terkait empat pulau itu merupakan bagian dari executive review. Saya yakin empat pulau ini akan tetap menjadi bagian dari Aceh. Jika memang ada sumber daya migas yang besar dari keempat pulau ini, mengapa tidak dikelola bersama saja antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumut?Saya pikir tidak bisa juga pengelolaan bersama, itu sulit sebenarnya. Tidak mudah seperti yang dituturkan oleh banyak orang. Jadi, ini kan terkait dengan bagi hasil macam-macam. Pulau-pulau itu juga bagian dari Indonesia. Kalau itu kemudian dipertahankan tetap di Aceh, itu juga milik Indonesia.Kalaupun ada potensi ekonomi, uangnya kan juga mengalir ke pemerintah pusat. Jadi tetap saja, itu menjadi bagian dari republik ini. Soal kerja sama itu kita serahkan kepada Pemerintah Provinsi Aceh.Pemerintah Aceh itu punya Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA). Badan Pengelolaan Migas Aceh ini yang bertanggung jawab untuk mengelola migas yang ada di wilayahnya. Kalaupun ada potensi ekonomi terutama migas di pulau itu, kita juga belum tahu karena SKK Migas yang punya otoritas untuk menyampaikan itu.
Nasir Djamil: Sejak 1992, Sudah Disepakati 4 Pulau Sengketa itu Milik Aceh

Tag:Breaking News