Home / Sumatera / Mengenal Uroe Tulak Bala, Tradisi Sakral Masyarakat Aceh Menguatkan Ikatan Sosial

Mengenal Uroe Tulak Bala, Tradisi Sakral Masyarakat Aceh Menguatkan Ikatan Sosial

Jakarta – Dalam kebudayaan masyarakat Aceh yang sarat akan nilai-nilai religius dan kearifan lokal, terdapat sebuah tradisi kuno yang hingga kini tetap lestari dan dipraktikkan dengan khidmat yakni Uroe Tulak Bala.Tradisi ini tidak sekadar menjadi manifestasi spiritual untuk menolak bala atau musibah, tetapi juga menjadi cerminan solidaritas sosial yang mendalam di tengah masyarakat. Uroe Tulak Bala, secara harfiah berarti hari menolak bencana, merupakan salah satu bentuk ritual kolektif yang menyatukan unsur agama, adat, dan kebersamaan.Pada hari yang telah ditentukan, biasanya berdasarkan penanggalan hijriah atau momentum-momentum tertentu yang dianggap rawan bencana atau ujian, warga berkumpul di satu tempat baik itu di meunasah, masjid, atau lapangan terbuka untuk bersama-sama mengangkat doa kepada Allah SWT, memohon perlindungan dari segala marabahaya, penyakit, bencana alam, serta gangguan lainnya yang dapat mengusik ketenteraman hidup mereka.Ritual ini dimulai dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, zikir, dan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama atau ulama setempat. Suasana pun terasa syahdu dan khidmat, karena seluruh lapisan masyarakat dari anak-anak hingga orang tua, dari petani hingga pegawai negeri bersatu dalam lantunan doa yang menggema di bawah langit Aceh.Lebih dari sekadar doa, Uroe Tulak Bala juga menampilkan aspek kebersamaan dalam bentuk jamuan makanan yang dikumpulkan dari berbagai rumah. Setiap keluarga menyumbangkan apa yang mereka miliki seperti nasi, lauk-pauk, kue-kue tradisional, bahkan buah-buahan hasil kebun.Semua makanan tersebut disatukan dalam sebuah perjamuan massal dan kemudian dibagikan kembali secara merata. Ada yang disantap bersama di lokasi, ada pula yang dibawa pulang untuk dinikmati bersama keluarga di rumah. Inilah bentuk nyata dari nilai berbagi dan gotong royong yang menjadi napas kehidupan masyarakat Aceh.Uroe Tulak Bala bukan hanya bermakna simbolik sebagai penangkal bencana, tetapi juga menjadi momen rekonsiliasi sosial. Di tengah kesibukan hidup sehari-hari dan potensi konflik horizontal yang bisa muncul di masyarakat, tradisi ini menjadi sarana yang efektif untuk mempererat kembali jalinan silaturahmi. Orang-orang yang mungkin sebelumnya berselisih dapat bertemu dan saling memaafkan dalam suasana yang penuh berkah. Anak-anak belajar tentang pentingnya kebersamaan dan penghormatan terhadap tradisi dari orang tua mereka, sementara generasi muda mendapatkan ruang untuk memahami dan melestarikan kearifan lokal yang hampir punah di tengah arus modernisasi.Dalam konteks inilah, Uroe Tulak Bala bukan hanya ritual keagamaan, melainkan juga mekanisme sosial yang menjaga keseimbangan spiritual dan sosial masyarakat Aceh. Dengan melihat kompleksitas dan kekayaan makna di balik Uroe Tulak Bala, kita dapat menyadari betapa pentingnya melestarikan tradisi ini.Di tengah dunia yang kian rasional dan teknologi yang semakin mendominasi, praktik-praktik spiritual yang bersifat kolektif seperti ini menjadi penyeimbang yang membawa manusia kembali pada kesadaran akan keterbatasan dirinya serta ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa.Uroe Tulak Bala mengajarkan bahwa dalam menghadapi berbagai tantangan dan kemungkinan musibah, kekuatan doa yang dihimpun secara bersama, ditambah dengan semangat kebersamaan dan saling berbagi, menjadi modal sosial yang tak ternilai.Oleh karena itu, menjaga tradisi ini bukan hanya tentang melestarikan budaya, tetapi juga menjaga roh kehidupan masyarakat Aceh yang berlandaskan pada iman, persaudaraan, dan solidaritas.Penulis: Belvana Fasya Saad

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *