PAMEKASAN, Menara berwarna biru menjulang tinggi menandakan jantung Kabupaten Pamekasan.
Bangunan ini peninggalan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah karesidenan.
Menara air yang disebut sentral oleh masyarakat ini dibangun sejak 1927. Tembok menara berwarna biru dengan tinggi 25 meter dan lebar 11 meter.
Ada delapan tiang yang menjadi penyangga tembok berbentuk segi empat di atasnya.
Baca juga: Pengakuan Kusnadi Setelah Menghilang: Berobat ke Pamekasan, Tinggal di Pesantren
Di bawahnya, terdapat beberapa ruangan. Sampai saat ini, menara itu masih berfungsi mengalirkan air ke ratusan rumah di wilayah perkotaan.
Letak bangunan sentral berada di sisi utara monumen Arek Lancor, Kelurahan Barurambat Kota, Pamekasan.
Menara ini dibangun untuk menunjang kebutuhan pemerintah Belanda itu, tepatnya saat mereka menduduki jantung kota sebelum diusir pasukan Sabil pada tahun 1947.
Tokoh budaya Pamekasan, Halifaturrahman mengungkapkan, menara air ini menjadi landmark atau pusat pemerintahan kolonial Belanda ketika itu.
“Menara air dikenal dengan sebutan sentral di Pamekasan. Saat itu, menjadi tembok tertinggi di jantung kota,” ujarnya.
Menara ini masih dirawat oleh Pemerintah Kabupaten Pamekasan. Dulu, menara ini mendapat aliran air dari sumber mata air besar di Kecamatan Omben, Sampang.
Belanda membuat aliran bawah tanah dengan pipa berdiameter 6 inchi, berbahan besi sepanjang puluhan kilometer.
“Bangunan bersejarah itu menjadi bukti jika Belanda sempat menguasai Pamekasan. Semua yang dibangun demi kebutuhan Belanda,” katanya.
Baca juga: Dosen Asal Pamekasan yang Meninggal Saat Haji Ilegal Pamit Haji Plus dengan Biaya Rp 105 Juta
Dulu, ada sirine yang keras dan bisa didengar hingga radius sangat jauh. Itu tandanya, tentara kolonial berkeliaran bagi masyarakat Pamekasan.
Dalam perkembangannya, sirine sempat dibunyikan saat berbuka puasa. Namun, saat ini sudah tidak berfungsi baik.
“Belanda juga memanfaatkan sentral untuk generator listrik. Di sekitar tembok dulu ada alat pemenuhan listrik di Pamekasan,” ucapnya.