Home / Jawa Barat / Mengenal Batari Sri Pertiwi hingga Perjalanan Sejarah Cirebon Sebelum Masuknya Islam

Mengenal Batari Sri Pertiwi hingga Perjalanan Sejarah Cirebon Sebelum Masuknya Islam

Cirebon – Wilayah utara Jawa Barat tepatnya Cirebon memiliki sejarah panjang yang hingga saat ini masih terlihat peninggalannya. Mulai dari situs, kuliner hingga keraton yang masih berdiri.Bahkan, Cirebon identik dengan salah satu tokoh besar fenomenal memimpin hingga menyebarkan Islam di Jawa yakni Sunan Gunung Jati. Namun, jauh sebelum itu, perjalanan sejarah Cirebon memasuki beberapa fase sebelum masuknya Islam.Berdasarkan catatan naskah Negarakertabumi yang ditulis Pangeran Wangsakerta, berdiri kerajaan Indraprahasta di abad ke 4 tahun 363 masehi. Ketika itu, kata dia, kerajaan tersebut dibangun oleh Maharesi Sentanu.”Dulu belum bernama Cirebon dan Maharesi Sentanu membangun kerajaan Indraprahasta. Di era tersebut Indraprahasta punya bendungan Situgangga diperuntukkan sebagai pusat upacara mandi suci di nusantara di era Indraprahasta dan Taruma di era Raja Purnawarman abad ke 5 Masehi,” ujar Farihin, Senin (16/6/2025).Setelah itu, memasuki era berikutnya yakni Galuh Singapura yang mengingatkan kepada sosok Raja Sunda Galuh yakni Sri Jaya Bupati. Farihin menyebutkan, Sri Jaya Bupati memiliki istri bernama Batari Sri Pertiwi hidup di abad 11.Dalam naskah, kata dia, Batari Sri Pertiwi memerintah di Kerajaan Sunda Galuh tahun 1030 sampai 1042 masehi. Berdasarkan novel Suluk Abdul Jalil yang ditulis Agus Sunyoto merujuk naskah Negarakertabumi menyebutkan, Batari Sri Pertiwi dianggap sebagai sosok yang mengawali tana kabumian.”Tanah Kabumian atau Ciri Ibuan kemudian oleh kolonial disebut Ceribon dan ditafsirkan sebagai tanah warisan ibu. Sementara tanah warisan bapak disebut Cere Ramai atau Ciremai nama gunung di Kabupaten Kuningan Jawa Barat sekarang namun sebelumnya bernama Gunung Indrakila,” ujar Farihin.Farihin menyebutkan, Gunung Indrakila atau Ciremai dalam catatan naskah dianggap sebagai makam Sri Jaya Bupati. Lokasi tepatnya di Situs Batulingga masuk ke wilayah Desa Sagarahiyang Kabupaten Kuningan.Memasuki fase ketiga, katanya, Galuh Singapura diwarisi Ki Gedeng Tapa Jumajanjati, ayah dari Nyai Subang Larang yang juga merupakan mertua Prabu Siliwangi.”Ini periode Cirebon waktu Galuh Singapura karena Cirebon merupakan tanah wilayah Kerajaan Galuh, dan Singapura yang merujuk pada tanah warisan Prabu Purnawijaya anak Batari Sri Pertiwi dari Sri Jaya Bupati. Nah 3 fase ini merupakan fase pra islam sebelum muncul Islam di Cirebon karena bicara Cirebon ya Islam,” ujarnya.Memasuki era Galuh Singapura, Farihin menyebutkan, ada sosok penyebar Islam dari kalangan orang sunda lokal bernama Brata Legawa. Sosok Brata Legawa merupakan anak dari Bunisora Suradipati, merupakan Raja di kerajaan Galuh menggantikan kakaknya Prabu Lingga Buwana yang gugur saat perang di Bubad.Ia menyebutkan, Brata Legawa merupakan sosok muslim pertama di tatar Sunda Kerajaan Galuh dan tinggal di Cirebon Wanagiri atau sekarang bernama Wanasaba. Pada perjalanannya, Brata Legawa menikahi Farhanah anak dari sang guru bernama Muhammad.”Dari pernikahaan keduanya lahir anak Ahmad kemudian punya anak Khodijah yang dinikah oleh Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi. Tapi sayangnya ketika Brata Legawa dakhwa Islam di Galuh belum diterima oleh saudara-saudaranya. Era Galuh Singapura ini sebelum Walangsungsang atau Sunan Gunung Jati lahir. Singkat cerita Brata Legawa sempat tingga di Talun kemudian ketika wafat dimakamkan di Astana Gunung Sembung yang saat ini komplek Makam Sunan Gunung Jati,” ujar Farihin. 

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *