Jakarta – Usang, lembab, dan dipeluk semak belukar—itulah kesan pertama saat Reporter Radityo Priyasmoro menapaki area eks Terminal Bandar Udara Kemayoran, Selasa (17/6/2025). Di masa jayanya, bangunan ini bukan sekadar ruang tunggu penumpang, tetapi juga panggung kejayaan dunia penerbangan Indonesia.Kini, hanya tinggal puing-puing kenangan di wilayah utara kota yang terus tumbuh.Tanaman liar menjalar hingga ke dinding-dinding kusam yang terkelupas, sementara pohon beringin tua menunduk di sisi bangunan, seolah ikut meratapi nasibnya. Lantai yang becek dan berlumut menyambut langkah kaki, mengingatkan bahwa waktu memang tak pernah menunggu.Bandara Kemayoran dibangun pada 1934 oleh pemerintah kolonial Belanda dan diresmikan pada 8 Juli 1940. Saat itu, ia menjadi salah satu lapangan terbang internasional paling modern di Asia Tenggara. Airshow pertama diselenggarakan di sini bertepatan dengan hari ulang tahun Raja Belanda, 31 Agustus 1940. Selain deretan pesawat milik Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM), pesawat pribadi dari Aeroclub Batavia juga turut meramaikan. Beberapa di antaranya adalah Buckmeister Bu-131 Jungmann, de Haviland DH-82 Tigermoth, Piper Cub, dan Walraven W-2—yang pernah melakukan penerbangan Batavia-Amsterdam pada 27 September 1935.Namun masa kejayaan itu terguncang ketika Perang Asia Pasifik meletus. Bandara Kemayoran menjadi sasaran serangan udara Jepang. Pada 9 Februari 1942, dua DC-5, dua Brewster, dan satu Fokker F-VII rusak akibat serangan. Beberapa pesawat KNILM pun harus diungsikan ke Australia demi menyelamatkan armada.Saat Jepang mengambil alih kekuasaan (1942–1945), pesawat-pesawat buatan Jepang pun mengisi langit Kemayoran. Pesawat tempur Mitsubishi A6M2 Zeke—atau yang lebih dikenal sebagai Zero—menjadi pesawat pertama yang mendarat.Setelah Jepang menyerah, giliran pesawat-pesawat Sekutu seperti Supermarine Spitfire, B-25 Mitchell, dan P-51 Mustang mengudara di sini. Kemayoran pun kembali hidup. Beberapa pesawat komersial modern seperti DC-4/C-54 Skymaster, DC-6, Boeing 377 Stratocruiser, hingga Lockheed Constellation mulai berdatangan.Setelah Indonesia merdeka, Bandara Kemayoran menjadi simbol awal kebangkitan aviasi nasional. Garuda Indonesian Airways lahir di masa ini, membawa serta pesawat-pesawat modern ke Kemayoran.Era penerbangan sipil pada 1950-an ditandai dengan masuknya pesawat turboprop seperti Saab 91 Safir, Grumman Albatros, Ilyushin Il-14, Cessna, hingga produk dalam negeri seperti NU-200 Sikumbang dan Belalang.Bandara ini juga menjadi panggung diplomasi internasional. Pada masa pemerintahan Soekarno, Konferensi Asia-Afrika mendatangkan kepala negara dari berbagai belahan dunia yang mendarat di Kemayoran.Tidak hanya sipil, militer Indonesia pun memanfaatkan Kemayoran. Di akhir 1950-an hingga awal 1960-an, pesawat tempur MiG-17, MiG-15 UTI, MiG-19, serta pesawat pembom Ilyushin Il-28 milik AURI (sekarang TNI AU) turut meramaikan langitnya.Masuk ke dekade 1970-an, era jet berbadan lebar pun dimulai. Boeing 747, L-1011, DC-10, hingga Airbus mulai mendarat di Kemayoran. Pada 29 Oktober 1973, DC-10 milik KLM—disewa Garuda untuk angkutan haji—menjadi pesawat terbesar dan terberat yang pernah mendarat di sini.Namun geliat itu tak bertahan lama. Pada 10 Januari 1974, Bandara Halim Perdanakusuma dibuka sebagai bandara internasional. Penerbangan domestik masih dilayani di Kemayoran hingga akhirnya semua aktivitas penerbangan dihentikan pada 31 Maret 1985.Salah satu kenangan terakhir yang melekat adalah ketika pesawat DC-2 Uiver singgah di Kemayoran pada 1984 dalam rangka mengenang 50 tahun rally udara London–Melbourne. Pesawat DC-3 Dakota pun menjadi burung besi terakhir yang terbang dari Bandara Kemayoran sebelum ditutup. Kembali pada situasi hari ini, kini hanya tersisa terminal yang terbengkalai dan Menara Air Traffic Control (ATC) pertama di Asia Tenggara. Namun menara itu pun nyaris tertutup semak dan pagar bedeng. Aksesnya ditutup dengan papan peringatan: “Tidak berkepentingan dilarang masuk.”Satu-satunya petunjuk fisik yang menandakan bahwa ini pernah menjadi bandara internasional hanyalah lempengan aspal bertuliskan “Bandar Kemayoran.” Sisanya tertutup waktu dan pengabaian.Menurut Ahmad, seorang petugas keamanan di lokasi, ada satu ruang yang menyimpan relief sejarah bandara. Namun akses ke ruangan itu hanya dibuka jika ada tamu atau kunjungan resmi.“Kalau ada kunjungan, baru dibersihkan. Kalau tidak ya seperti ini,” ujarnya pada Kini area itu lebih dikenal sebagai tempat makan siang. Kantin koperasi milik PPK Kemayoran menjadi pujasera bagi pekerja sekitar Pekan Raya Jakarta (PRJ) dan pasar mobil Kemayoran.Sisa lain dari kemegahan masa lalu adalah landasan pacu pesawat yang kini berubah menjadi Jalan Benyamin Suaeb, jalan lebar dua arah yang membentang hampir 5 kilometer.Jalur ini dulunya menjadi jalur lepas landas dan pendaratan pesawat besar. Kini, ia menjadi akses lalu lintas kendaraan bermotor, dengan Monumen Ondel-Ondel sebagai penanda zaman baru. Melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 495 Tahun 1993, kawasan eks Bandara Kemayoran ditetapkan sebagai cagar budaya. Namun fakta di lapangan berkata lain. Tak ada upaya serius dalam pelestarian. Gedung ATC yang sempat berdiri kokoh hingga 2017, kini tertutup dan nyaris tak terlihat.Upaya tim untuk menggali lebih dalam pun terbentur prosedur. Saat mendatangi Kantor PPK Kemayoran di Jalan Merpati 1, tidak ada perwakilan humas yang bersedia ditemui.Resepsionis hanya meminta redaksi mengirim surat resmi. Selebihnya, hanya ada selembar kertas berisi nomor kontak dan alamat email.
Menelusuri Jejak Bandara Kemayoran, Landasan Internasional Pertama RI yang Kondisinya Terbengkalai

Tag:Breaking News