Jakarta – Surabaya sebagai kota metropolitan yang juga merupakan simpul pertemuan berbagai etnis dan budaya, memiliki kekayaan tradisi yang begitu memesona, salah satunya adalah tradisi pernikahan unik bernama Manten Pegon.Tradisi ini bukan sekadar seremoni pengikatan dua insan dalam ikatan suci pernikahan, melainkan sebuah pertunjukan budaya lintas etnis yang sarat akan simbolisme dan makna historis.Dalam perhelatan Manten Pegon, kita tidak hanya menyaksikan pernikahan sebagai momen kebahagiaan semata, tetapi juga sebuah napak tilas kebudayaan yang menggambarkan perjalanan akulturasi panjang antara budaya Jawa, Arab, Eropa, dan Tionghoa di kota Surabaya.Manten Pegon muncul sebagai bentuk perpaduan harmoni dari masyarakat pesisir yang telah lama menjalin hubungan dagang, sosial, bahkan spiritual, antar berbagai komunitas tersebut. Dari sinilah Manten Pegon menjelma menjadi ritual sakral yang kaya warna, tidak hanya secara visual, tetapi juga secara filosofis.Pakaian pengantin dalam tradisi Manten Pegon merupakan simbol paling mencolok dari perpaduan budaya tersebut. Pengantin pria biasanya mengenakan jas tutup atau jubah panjang ala Timur Tengah, lengkap dengan serban atau penutup kepala khas Arab, namun terkadang juga dibalutkan unsur Jawa berupa blangkon atau keris kecil yang disematkan di pinggang.Di sisi lain, pengantin wanita tampil anggun mengenakan kebaya khas Jawa, namun dengan sentuhan sulaman keemasan yang mengingatkan kita pada busana bangsawan Eropa, serta riasan wajah yang memperlihatkan pengaruh etnis Tionghoa melalui tata rias mata dan penggunaan perhiasan kepala yang menyerupai hiasan phoenix khas budaya Cina.Kombinasi ini bukan tanpa maksud. Ia mencerminkan semangat keterbukaan dan keharmonisan yang telah lama tertanam dalam masyarakat Surabaya, yang tak segan memeluk perbedaan sebagai kekayaan, bukan penghalang.Prosesi Manten Pegon tidak hanya berfokus pada busana atau dekorasi yang kaya akan simbol-simbol lintas budaya, tetapi juga pada tata cara dan runtutan upacara yang memadukan adat Jawa dan Islam sebagai pondasi utamanya.Prosesi akad nikah, misalnya, tetap dilakukan dalam format Islam, namun dilengkapi dengan tradisi Jawa seperti sungkeman, panggih, serta siraman yang diselenggarakan sebelum hari H.Sementara dalam pesta resepsi, elemen musik tradisional Jawa sering berpadu dengan alunan gambus khas Arab, bahkan kadang ditambah sentuhan musik keroncong atau orkestra kecil ala Eropa yang membuat acara ini begitu semarak dan memukau.Tak jarang pula, makanan yang disajikan dalam pesta mencerminkan perpaduan budaya, hidangan seperti nasi kebuli, ayam kodok, lontong cap go meh, dan rawon hadir dalam satu meja prasmanan, menciptakan simfoni rasa yang mewakili latar belakang budaya yang melebur.Di balik kemegahan visual dan kelezatan sajian, Manten Pegon sejatinya adalah cermin dari identitas Surabaya itu sendiri kota pelabuhan yang menjadi titik temu budaya, tempat di mana masyarakat dari berbagai belahan dunia saling bertemu, menetap, dan hidup berdampingan dalam semangat toleransi.Tradisi ini bukan hanya dirayakan oleh mereka yang berdarah Arab atau keturunan Tionghoa, melainkan telah menjadi bagian dari khazanah budaya masyarakat Surabaya secara umum, bahkan turut dirayakan oleh mereka yang berlatar belakang Jawa tulen sebagai bentuk kebanggaan atas kearifan lokal yang inklusif.Dalam konteks ini, Manten Pegon memiliki nilai strategis sebagai jembatan sosial budaya yang mempertemukan tradisi leluhur dengan modernitas, serta menyatukan perbedaan dalam satu panggung sakral pernikahan.Oleh karena itu, pelestarian tradisi Manten Pegon menjadi sangat penting, tidak hanya untuk menjaga warisan budaya, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap homogenisasi budaya global yang kian kuat. Dalam tiap langkah pengantin yang menyusuri pelaminan Manten Pegon, terselip pesan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang patut dirawat dan dirayakan.Di tengah dunia yang terus berubah, tradisi ini hadir sebagai pengingat bahwa harmoni bisa tercipta dari keberagaman, dan cinta sejati bisa mekar di antara warisan sejarah yang tak ternilai. Maka, ketika kita menyaksikan pernikahan ala Manten Pegon, kita tak hanya melihat dua insan bersatu, tapi juga menyaksikan spirit Surabaya yang merangkul dunia dalam pelukan tradisinya.Penulis: Belvana Fasya Saad
Manten Pegon Perpaduan Megah Budaya Jawa, Arab, Eropa, dan Tionghoa dalam Sebuah Pernikahan di Surabaya

Tag:Breaking News