Jakarta – Di antara aneka kuliner tradisional Nusantara yang lahir dari perpaduan sederhana antara bahan lokal dan kearifan nenek moyang, Manggulu dari Sumba tampil sebagai bukti bahwa makanan tak hanya soal rasa, melainkan juga tentang daya tahan, makna historis, dan filosofi hidup.Sekilas, Manggulu mungkin tampak seperti dodol atau jenang dari daerah lain berwarna gelap, kenyal, dan dibungkus dengan daun. Namun, ketika dicicipi, sensasi manis alami dari pisang yang berpadu dengan gurihnya kacang tanah segera menyapa lidah dan meninggalkan kesan yang khas dari Sumba.Dibuat dari bahan-bahan yang sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Sumba seperti pisang kepok kuning, kepok putih, pisang tanduk, hingga pisang nangka. Manggulu bukan sekadar camilan manis, tetapi juga jejak sejarah yang tersembunyi dalam balutan daun pisang kering.Manggulu dikenal luas oleh masyarakat Sumba sebagai makanan tradisional yang tidak hanya lezat, tetapi juga tahan lama. Ini berkat penggunaan daun pisang kering sebagai pembungkusnya sebuah teknik alami yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga efektif menjaga kesegaran isinya tanpa perlu bahan pengawet kimia.Daun pisang yang telah dikeringkan memiliki kemampuan menyerap kelembapan berlebih dan menjaga keutuhan rasa dari adonan di dalamnya. Di daerah yang beriklim panas dan kering seperti Sumba, kepraktisan dan ketahanan pangan menjadi elemen penting dalam kebudayaan kuliner.Oleh karena itu, manggulu menjadi solusi cerdas sekaligus contoh konkret dari adaptasi budaya terhadap kondisi alam. Makanan ini bisa bertahan hingga berminggu-minggu dalam suhu ruang, menjadikannya sebagai pilihan utama untuk dibawa dalam perjalanan jauh atau dalam kegiatan luar rumah seperti bertani, berburu, atau bahkan berperang.Menariknya, dalam catatan lisan masyarakat lokal, manggulu bukan hanya menjadi makanan rakyat biasa. Pada masa kolonial Belanda, panganan ini dikabarkan menjadi favorit para prajurit Belanda yang ditempatkan di Sumba.Alasannya sederhana namun logis manggulu memiliki rasa manis yang alami, tekstur yang mengenyangkan, dan kemudahan dalam penyimpanan serta pengangkutan. Dalam kondisi logistik yang terbatas, makanan seperti manggulu jelas menjadi penolong dalam menunda lapar sekaligus menyuplai energi yang cukup bagi para tentara. Fakta ini menjadikan manggulu tidak hanya sebagai warisan kuliner, tetapi juga sebagai bagian dari sejarah sosial dan militer yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Sumba selama masa penjajahan. Bayangkan, di tengah konflik dan gejolak zaman, sepotong manggulu menjadi titik temu antara dua budaya yang sangat berbeda dengan satu pihak menguasai, dan yang lain melestarikan.Proses pembuatan manggulu sendiri cukup menarik dan mencerminkan nilai ketekunan serta kreativitas tradisional. Pisang yang digunakan harus benar-benar matang agar menghasilkan rasa manis alami yang kuat tanpa tambahan gula.Pisang tersebut kemudian dikukus dan dihaluskan, lalu dicampur dengan kacang tanah yang telah disangrai dan ditumbuk kasar. Campuran ini lalu dimasak kembali hingga agak mengental, sebelum akhirnya dibungkus dengan daun pisang yang sudah dikeringkan.Tidak ada bahan pengawet, tidak ada mesin modern, hanya tangan-tangan terampil dan resep turun-temurun yang menjaga kualitas dan cita rasa asli manggulu. Bahkan dalam beberapa keluarga, resep manggulu diwariskan secara eksklusif sebagai bagian dari identitas keluarga atau suku tertentu menandakan bahwa makanan ini bukan hanya tentang konsumsi, tetapi juga tentang garis keturunan dan kehormatan budaya.Kini, di era modern yang serba cepat dan instan, manggulu tetap mempertahankan eksistensinya sebagai bagian penting dari identitas kuliner Sumba. Meskipun banyak generasi muda mulai akrab dengan makanan olahan pabrik, manggulu tetap hadir dalam berbagai acara adat, upacara keagamaan, maupun sebagai oleh-oleh khas daerah.Beberapa pelaku usaha lokal bahkan mulai mengemas manggulu dalam bentuk yang lebih praktis dan menarik tanpa meninggalkan prinsip dasar pembuatannya. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa kue tradisional ini tidak tergilas zaman, tetapi justru bisa naik kelas sebagai produk unggulan dari Nusa Tenggara Timur yang kaya budaya.Pelestarian ini tidak hanya berfokus pada mempertahankan resep asli, tetapi juga pada edukasi kepada generasi muda tentang sejarah dan nilai di balik makanan tersebut.Dalam balutan daun pisangnya yang sederhana, terkandung narasi tentang perjuangan hidup di tanah yang keras, tentang strategi bertahan dalam kondisi sulit, dan tentang kemampuan manusia dalam memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya untuk menciptakan sesuatu yang bernilai.Manggulu adalah manifestasi dari kehidupan itu sendiri manis, kadang keras, tetapi selalu memberi kekuatan. Maka, setiap kali kita menikmati sepotong manggulu, kita sedang menjalin kembali hubungan dengan masa lalu, dengan tanah Sumba, dan dengan kearifan yang telah bertahan dari masa ke masa.Penulis: Belvana Fasya Saad
Manggulu, Panganan Manis Khas Sumba Menyimpan Jejak Sejarah dan Ketahanan Alam

Tag:Breaking News