Jakarta – Tiap pekan ketiga bulan Mei, Lunardi Valanchie selalu merasa ada yang menggeliat di pikirannya. Ingatan itu datang seperti bau kopi yang muncul pelan-pelan dari gelas panas. Pahit, menghangatkan, dan tak mudah dilupakan. Peristiwa mencekam 1998, yang meluluhlantakkan Jakarta dan mengubah arah hidup banyak orang, masih terus hidup dalam kepalanya.Lunardi adalah generasi ketiga pemilik Toko Kopi Luwak Gondangdia, yang berdiri tepat di samping Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat. Dulu namanya Toko Kopi Burung Kenari. Sejak 1930, aroma robusta dan arabika menyelimuti gang kecil di Jalan Srikaya I. Kini, toko mungil itu seperti menyimpan rahasia: pagar besi menutup rapat hingga ke atap. Siapa pun yang ingin masuk, mesti menekan bel terlebih dulu—seperti mengetuk pintu masa lalu yang masih hangat disimpan Lunardi.Ia mengingat jelas malam itu. “Warung sebelah kena lempar batu. Saya cuma bisa berdoa,” ujarnya, Jumat siang, 23 Mei 2025. Kerusuhan Mei 1998 mengguncang Jakarta selama beberapa hari. Ribuan toko dibakar, dijarah, dan warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Tapi Toko Kopi Luwak Gondangdia selamat. Bukan semata perkara nasib baik, kata Lunardi, melainkan karena akar yang telah ia tanam sejak kecil, di kampung yang juga telah membesarkannya.“Saya ini anak kampung sini,” katanya. Ia menyebut satu per satu nama anak muda Kampung Menteng Kecil yang ia kenal sejak bocah. “Mereka yang jaga. Bukan tentara.”Pada malam-malam genting itu, Lunardi, istrinya, anak semata wayangnya yang masih lima tahun, dan kedua orang tuanya hanya bisa bertahan. Mereka tidak lari. Rumah di atas toko menjadi benteng terakhir. Dari celah jendela lantai dua yang dilindungi jeruji besi, ia mengintip gelap: suara dentuman, kaca pecah, dan teriakan tak henti-henti. Malam seperti tak selesai.”Semua sudah siap-siap kabur. Tapi ke mana? Sampai Cikini saja sudah syukur,” ujarnya. Tapi mereka tak jadi pergi. Di luar, pasukan berseragam berdiri berjajar. Entah satu kompi, entah dua. Lunardi tak pernah lupa suara sepatu lars yang entah kenapa, malam itu, terasa menenangkan.Toko tutup tiga hari. Perbekalan cukup, tapi rumah di belakang dilempar batu. Kaca jendela pecah. Tembok retak. Lunardi tahu, ia tidak sepenuhnya aman. Tapi ia selamat. Hidup perlahan berjalan lagi. Saat itu kami duduk di dalam toko, aroma robusta Lampung menguar dari mesin penggiling. “Dari kampungmu juga, ya,” katanya sambil tersenyum, kepada Jurnalis Nanda Perdana Putra yang menemuinya.Ia membuka buku catatan tua, menunjukkan mesin penggiling manual berkarat yang masih dipakai. Tangannya sibuk, tapi cerita terus mengalir. Tentang kebakaran toko kopinya pada 2012 yang membuatnya berhenti berdagang selama dua tahun. Tentang peristiwa Malari 1974. Tentang mahasiswa, tentara, dan warung karambol di samping toko.“Paspampres sering ke sini dulu. Nongkrong. Main karambol di sebelah. Siapa berani macam-macam?” katanya, seolah kembali ke masa ketika toko kecil itu ada di tengah lalu lalang elite dan keramaian.Tapi hari ini, suasana lebih sunyi. Langganan sudah banyak yang pindah. Beberapa mengira tokonya sudah lama tutup.”Habis kebakaran itu, banyak yang enggak balik,” ucapnya pelan. Nama Lunardi Valanchie, kata dia, bukan nama lahirnya. Li Xi Lun, begitu nama aslinya. Ia menjawab malu-malu ketika ditanya kenapa berganti. “Bukan karena 98,” ujarnya cepat, seperti ingin melewatkan bagian itu.Ia menolak bersedih. “Hidup mau cari apa?” katanya. “Anak sudah besar, punya keluarga. Saya sama istri cukup jaga toko ini. Kalau ada bel, ya buka. Nggak ada libur. Rezeki datang, ya disyukuri.”Lunardi tetap menyalakan mesin penggiling, menimbang kopi setengah kilogram, dan tetap bercerita. Tangannya sibuk, bibirnya tak berhenti. “Pokoknya malam 98 itu. mencekam sekali. Mencekam,” katanya, melambaikan tangan kepada Jurnalis yang mendengar kisah pengalamannya di Mei 1998.
Malam Mencekam di Toko Kopi Gondangdia saat Mei 1998

Tag:Breaking News