Home / Peristiwa / Malam 1 Suro: Asal-Usul, Makna, dan Tradisi Tahun Baru Jawa

Malam 1 Suro: Asal-Usul, Makna, dan Tradisi Tahun Baru Jawa

Jakarta – Malam 1 Suro adalah momen penting dan sakral bagi masyarakat Jawa. Perayaan pergantian tahun baru Jawa ini sarat akan tradisi, ritual, dan kepercayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Malam ini bukan sekadar perayaan tahun baru, melainkan juga waktu untuk introspeksi diri, pembersihan spiritual, serta memohon keselamatan dan keberkahan di tahun yang baru.Lalu, apa sebenarnya Malam 1 Suro itu? Mengapa malam ini begitu istimewa bagi masyarakat Jawa? Bagaimana sejarah dan perkembangannya dari masa ke masa? Mari kita telusuri lebih dalam mengenai berbagai aspek seputar malam 1 Suro dalam budaya Jawa.Malam 1 Suro adalah malam pergantian tahun baru dalam penanggalan Jawa. Suro merupakan bulan pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriah Islam. Malam 1 Suro jatuh pada malam menjelang tanggal 1 bulan Suro, yang biasanya bertepatan dengan tanggal 1 Muharram.Dalam tradisi Jawa, pergantian hari dimulai saat matahari terbenam. Oleh karena itu, malam 1 Suro dimulai setelah Maghrib pada hari sebelum tanggal 1 Suro. Misalnya, jika 1 Suro jatuh pada hari Senin, maka malam 1 Suro dimulai setelah Maghrib hari Minggu.Malam 1 Suro dianggap sebagai momen yang sangat istimewa dan sakral bagi masyarakat Jawa. Pada malam ini, banyak orang Jawa melakukan berbagai ritual dan tradisi khusus sebagai bentuk introspeksi diri, pembersihan spiritual, serta permohonan keselamatan dan keberkahan di tahun yang baru.Bagi sebagian masyarakat Jawa, malam 1 Suro juga dipercaya sebagai momen di mana alam gaib dan alam nyata bertemu. Oleh karena itu, banyak mitos dan larangan yang berkembang seputar malam 1 Suro. Meski demikian, esensi utama perayaan malam 1 Suro adalah sebagai momentum untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan melakukan refleksi diri.Perayaan malam 1 Suro memiliki sejarah panjang yang berkaitan erat dengan perkembangan Islam di tanah Jawa. Asal-usul perayaan ini dapat ditelusuri ke masa pemerintahan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-17.Sebelum masa Sultan Agung, masyarakat Jawa menggunakan sistem penanggalan Saka yang berbasis peredaran matahari. Namun pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka), Sultan Agung melakukan pembaruan dengan menggabungkan sistem penanggalan Saka dengan penanggalan Hijriah Islam.Tujuan utama Sultan Agung melakukan perubahan ini adalah untuk menyatukan masyarakat Jawa yang saat itu terpecah antara penganut kepercayaan Kejawen dan Islam. Dengan menggabungkan kedua sistem penanggalan tersebut, Sultan Agung berharap dapat menjembatani perbedaan dan menciptakan harmoni di antara rakyatnya.Dalam sistem penanggalan baru ini, nama-nama bulan dalam kalender Hijriah tetap digunakan, namun tahunnya tetap mengikuti hitungan tahun Saka. Bulan pertama dalam penanggalan baru ini disebut Suro, yang berasal dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab yang merujuk pada tanggal 10 Muharram.Sultan Agung menetapkan bahwa pergantian tahun baru Jawa jatuh pada tanggal 1 Suro, yang bertepatan dengan 1 Muharram. Penetapan ini dilakukan pada hari Jumat Legi, 1 Suro tahun 1555 Jawa (8 Juli 1633 Masehi).Sejak saat itu, malam 1 Suro menjadi momen penting dalam tradisi Jawa. Sultan Agung menganjurkan rakyatnya untuk memperingati malam 1 Suro dengan melakukan introspeksi diri, berdoa, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Beliau juga menetapkan beberapa pantangan pada malam tersebut, seperti larangan berpesta pora atau melakukan kegiatan yang bersifat hura-hura.Seiring berjalannya waktu, perayaan malam 1 Suro semakin berkembang dan memiliki berbagai variasi di berbagai daerah di Jawa. Meski demikian, esensi utamanya sebagai momen introspeksi dan pendekatan diri kepada Tuhan tetap terjaga hingga saat ini.Malam 1 Suro memiliki makna dan filosofi yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Perayaan ini bukan sekadar pergantian tahun, melainkan momen penting untuk melakukan refleksi diri dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Berikut beberapa makna dan filosofi penting di balik perayaan malam 1 Suro:Makna dan filosofi di balik perayaan malam 1 Suro ini menunjukkan betapa dalamnya nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi Jawa. Meski zaman terus berubah, esensi dari perayaan ini tetap relevan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.Malam 1 Suro merupakan malam tahun baru dalam kalender Jawa, yang jatuh pada malam sebelum tanggal 1 Suro (1 Muharram dalam kalender Hijriah). Pergantian hari dalam kalender Jawa dimulai saat matahari terbenam, bukan tengah malam seperti kalender Masehi. Oleh karena itu, Malam 1 Suro dirayakan setelah matahari terbenam pada hari sebelum tanggal 1 Suro.Malam 1 Suro berakar dari sinkretisme antara kalender Islam (Hijriah) dan kalender Jawa. Pada masa pemerintahan kerajaan Demak, sekitar tahun 931 Hijriah (1443 tahun Jawa), Sunan Giri II melakukan penyesuaian antara kedua sistem penanggalan ini. Kata “Suro” sendiri merupakan perubahan dari kata “Asyura” (10 Muharram) dalam pengucapan bahasa Jawa. Dalam kepercayaan Islam-Jawa, 10 hari pertama bulan Suro dianggap keramat.Bulan Suro, khususnya Malam 1 Suro, dianggap sebagai bulan yang sakral dan penuh energi spiritual oleh sebagian masyarakat Jawa. Banyak tradisi dan kepercayaan terkait Malam 1 Suro, termasuk:Meskipun Malam 1 Suro bertepatan dengan malam 1 Muharram, keduanya memiliki perbedaan dalam konteks dan perayaannya. 1 Muharram merupakan tahun baru Islam yang dirayakan secara universal oleh umat Islam, sementara Malam 1 Suro lebih spesifik pada tradisi dan kepercayaan masyarakat Jawa.Berdasarkan informasi yang tersedia, Malam 1 Suro 1959 (sesuai penanggalan Jawa) jatuh pada Jumat Kliwon, 27 Juni 2025.Malam 1 Suro merupakan perayaan tahun baru Jawa yang kaya akan tradisi dan kepercayaan lokal. Meskipun terkait dengan 1 Muharram, perayaannya memiliki nuansa dan makna yang unik bagi masyarakat Jawa. Penting untuk memahami bahwa banyak kepercayaan yang terkait dengan Malam 1 Suro bersifat tradisional dan tidak selalu memiliki dasar agama.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *