Jakarta Premier League 2024/2025 telah resmi berakhir, menyisakan cerita besar di dua kutub berbeda. Liverpool merayakan gelar ke-20 mereka, sementara Manchester United tenggelam di dasar prestasi.Musim ini menjadi saksi bagaimana raksasa Inggris bangkit dan runtuh dalam satu tarikan napas. Di tengah absennya kejelasan soal sanksi Manchester City, narasi utama justru didominasi Liverpool dan kejatuhan Setan Merah.Namun, cerita ini tak hanya soal hasil akhir. Ada pola, sistem, dan pelajaran besar yang bisa diambil dari musim yang sering terasa datar ini.Konsistensi menjadi kunci Liverpool mendominasi musim ini. Klub Merseyside itu berhasil menjaga kebugaran pemain kunci seperti Mohamed Salah dan Virgil van Dijk sepanjang musim.Itu bukan sekadar keberuntungan. Di balik layar, Liverpool tampil sebagai tim dengan kesiapan fisik terbaik dan pendekatan paling ilmiah dalam manajemen skuad.Pelatih rival seperti Mikel Arteta bahkan disebut terus memantau pendekatan ini. Sebuah indikasi bahwa sepak bola Inggris mulai serius dengan pendekatan berbasis performa dan data.Di sisi lain klasemen, Manchester United menjadi contoh nyata dari kekacauan dalam struktur. Mereka tak hanya gagal bersaing, tapi juga menunjukkan kemerosotan sistemik yang mengkhawatirkan.Meski memiliki kekuatan finansial besar, performa mereka terjun bebas. Situasi ini membuka pertanyaan besar untuk Ruben Amorim, Sir Jim Ratcliffe, hingga keluarga Glazer.Yang ironis, nasib United bisa lebih buruk lagi andai tidak ada tren penurunan di papan bawah. Musim ini memperlihatkan jurang finansial antara Premier League dan EFL makin berbahaya.Untuk kedua musim beruntun, tiga tim promosi langsung terdegradasi. Lebih tragis lagi, total poin ketiganya adalah yang terendah sepanjang sejarah liga.Fenomena ini bukan sepenuhnya kesalahan tim promosi. Sistem yang tak mendukung redistribusi kekayaan Premier League ke klub EFL jadi penyebab utamanya.Di tengah situasi ini, RUU pengawasan sepak bola yang tengah dibahas datang pada saat yang sangat tepat.Musim ini juga diwarnai oleh ketegangan non-teknis, mulai dari kontroversi wasit hingga protes terhadap padatnya kalender Eropa. Bahkan, isu pemogokan pemain sempat mencuat usai Rodri mengalami cedera.Aston Villa jadi korban terbaru dari kesalahan wasit besar-besaran, membuat mereka melayangkan protes resmi. Refereeing standards dan VAR kembali jadi musuh bersama.Dinamika ini menyeret Premier League ke arah yang sebelumnya hanya terlihat di Serie A atau La Liga—penuh dengan teori konspirasi dan krisis kepercayaan pada otoritas pertandingan.Musim ini sempat diwarnai harapan bahwa klub kelas menengah bisa naik kelas. Namun, Brighton, Bournemouth, dan Nottingham Forest gagal menjaga konsistensi mereka.Aston Villa sebenarnya sempat punya peluang emas lolos ke Liga Champions. Tapi blunder wasit dan hasil akhir mengecewakan membuat impian itu buyar di penghujung musim.Pada akhirnya, lima dari enam tim Liga Champions adalah mantan anggota Super League.Di luar liga, beberapa kisah romantis tetap muncul. Crystal Palace mengejutkan dengan menjuarai FA Cup, sementara Newcastle United berjaya di Carabao Cup.Oliver Glasner kini dipandang sebagai salah satu pelatih paling cemerlang di Eropa. Tapi tantangan mereka ke depan tak kalah berat dengan padatnya jadwal dan ketimpangan sumber daya.Tottenham pun meraih kejayaan di Liga Europa meski performa liga mereka mengecewakan. Ironis, tapi jadi penutup cerita musim yang sarat ironi dan pembelajaran.
Liverpool Juara, Manchester United Terpuruk: Potret Kontras Premier League 2024/2025

Tag:Breaking News