Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut pegawai di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta & PKK) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) diduga melakukan pemerasan terhadap calon Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tengah mengurus izin bekerja di Indonesia. KPK memperkirakan pemerasan itu mencapai Rp53 miliar sejak 2019.Hal itu terungkap setelah penyidik KPK memeriksa empat orang saksi dari Kemnaker di Gedung Merah Putih, pada Senin 26 Mei 2025.”Hadir semua. KPK mendalami aliran uang hasil pemerasan dari para agen TKA yang mengurus dokumen izin TKA di Kementerian Ketenagakerjaan,” ungkap Plt Jubir KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/5/2025).”Sebagai informasi tambahan, pemerasan ini berlangsung sejak tahun 2019. Hasil perhitungan sementara, uang yang dikumpulkan dari hasil tindak pidana ini sekitar Rp53 miliar,” Budi menambahkan.Adapun empat orang saksi yang diperiksa penyidik KPK di antaranya Gatot Widiartono, Koordinator Analisis dan Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) periode 2021–2025; dan Putri Citra Wahyoe, Petugas Hotline RPTKA periode 2019–2024 dan Verifikator Pengesahan RPTKA pada Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing tahun 2024–2025.Kemudian, Jamal Shodiqin, Analis TU Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA tahun 2019–2024 dan Pengantar Kerja Ahli Pertama periode 2024–2025; dan Alfa Eshad, Pengantar Kerja Ahli Muda Kemnaker sejak 2018.”KPK meminta kepada para tersangka dan para saksi yang dipanggil untuk bersikap kooperatif,” ucap Budi.KPK sudah menetapkan delapan tersangka dalam kasus ini.”Oknum Kemnaker pada Ditjen Binapenta dan PKK memungut atau memaksa seseorang memberikan sesuatu terhadap para calon tenaga kerja asing yang akan bekerja di Indonesia,” ujar Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu saat dikonfirmasi, Selasa (20/5).Guntur mengatakan, delapan tersangka dikenakan Pasal 12B atau 12E Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pasal 12B dan 12 E UU tersebut mengatur pegawai negeri/penyelenggara negara yang menerima hadiah akibat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, atau yang bermaksud menguntungkan diri dengan menyalahgunakan kekuasaannya dapat dikenakan pidana penjara paling singkat empat tahun, dan paling lama 20 tahun penjara.Adapun pidana denda paling sedikit Rp200 juta, dan paling banyak Rp1 miliar. Kasus tersebut terjadi pada 2020-2023. Reporter: Rahmat BaihaqiSumber: Merdeka.com
KPK: Pemerasan Terhadap Calon TKA di Kemnaker Sejak 2019, Kumpulkan Rp53 Miliar

Tag:Breaking News