Home / PROPERTI / Kontroversi Rumah Subsidi, Biaya Produksi Mahal dan Harga Lahan Selangit

Kontroversi Rumah Subsidi, Biaya Produksi Mahal dan Harga Lahan Selangit

Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman kembali menjadi pusat perhatian. Kali ini, sorotan tajam mengarah pada desain rumah subsidi yang menuai beragam komentar publik.

Konsep hunian baru yang ditawarkan oleh Lippo Group, yaitu Tipe 1 Kamar Tidur (LT 25 m2, LB 14 m2) dan Tipe 2 Kamar Tidur (LT 26.3 m2, LB 23.4 m2), memicu diskusi panas di kalangan masyarakat karena ukurannya yang dinilai terlalu kecil.

Kritikan serupa sebelumnya juga dilontarkan oleh Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto dan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Junaidi Abdillah, terkait wacana rumah subsidi berukuran 18 m2.

Baca juga: Cicilan Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Disebut Bisa Rp 600.000 Per Bulan

Derasnya kritik ini menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap kebutuhan hunian yang esensial.

Apalagi, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan 3 juta rumah sebagai salah satu program unggulan untuk mengatasi backlog hunian yang mencapai 9,9 juta.

Namun, apakah kritik ini sudah menyentuh akar masalah? Desain dan ukuran rumah hanyalah gejala dari tantangan yang lebih mendasar dalam penyediaan permukiman.

Permasalahan paling fundamental dalam penyediaan hunian adalah terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pembiayaan.

Data BPS menunjukkan bahwa 60 persen angkatan kerja di Indonesia berasal dari sektor informal.

Mereka yang berprofesi sebagai freelancer, pelaku UMKM, atau agen berbasis komisi, seringkali tidak memiliki penghasilan tetap atau kontrak kerja formal.

Baca juga: Gen Z: Kuburan Lebih Luas Ketimbang Rumah Subsidi 18 Meter Persegi

Kondisi ini dianggap berisiko bagi bank dan lembaga pembiayaan, sehingga akses KPR mereka menjadi sangat terbatas, bahkan jika mereka memiliki kemampuan membayar.

Akses pembiayaan juga semakin terancam dengan masalah kolektibilitas dan fenomena pinjaman online (pinjol).

Data PerfinDoku tahun 2024 mengungkapkan bahwa 14 juta pengguna pinjol di Indonesia, 48 persen di antaranya berusia 20-30 tahun, seringkali terlilit utang tanpa literasi finansial yang memadai.

Wacana rumah subsidi yang lebih kecil sebenarnya adalah dampak dari tingginya biaya produksi dan melambungnya harga lahan yang sulit diakomodasi oleh skema subsidi yang ada.

Saat ini, skema subsidi terbesar adalah melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Melalui skema ini, pemerintah membantu likuiditas perbankan agar dapat menyediakan pembiayaan yang lebih terjangkau.

Pemerintah memang tidak secara langsung membangun hunian, namun mematok harga maksimal untuk rumah subsidi di setiap daerah.

Baca juga: Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Panen Kritik, Masih Mau Dijalankan?

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *