SEMARANG, KOMPAS.com – Kota Semarang tak hanya dikenal sebagai kota industri dan pelabuhan, tapi juga tempat tumbuhnya berbagai komunitas kreatif.
Salah satu yang konsisten membina bakat generasi muda adalah Komunitas Taruna Liar, ruang belajar film yang berbasis di Semarang dan terus berkembang sejak 2021.
Berbeda dengan komunitas pada umumnya, Taruna Liar menerapkan sistem pendidikan layaknya akademi taruna.
Setiap tahun, mereka membuka rekrutmen terbatas untuk anak muda yang ingin belajar dunia perfilman secara serius.
Dalam setiap batch, hanya 11 peserta terpilih yang berkesempatan mengikuti program selama sembilan bulan.
Baca juga: Komunitas Lumaku Maju: Rayakan Self Love Lewat Jalan Kaki Menyusuri Gang Sempit di Semarang
Selama masa pelatihan, para peserta akan menjalani berbagai rangkaian program, mulai dari workshop intensif, magang profesional, hingga proyek akhir berupa film pendek.
“Inisiasi Taruna Liar berangkat dari kebutuhan ruang belajar film yang tidak hanya memberikan teori, tetapi juga pengalaman langsung,” ujar Ardian Parasto, inisiator Komunitas Taruna Liar, kepada Kompas.com, Minggu (18/5/2025).
Materi yang diberikan cukup lengkap dan mendalam. Peserta akan belajar mulai dari dasar-dasar produksi film, seperti produserial, penyutradaraan, sinematografi, penulisan naskah (scriptwriting), hingga proses penyuntingan (editing).
“Setelah bulan ketiga, mereka akan ikut magang di SURE Pictures, itu production house yang menaungi Taruna Liar. Nah, di proses magang itulah sebenarnya mereka sambil memikirkan kira-kira mereka nanti mau bikin apa tugas akhirnya,” jelas Ardian.
Tugas akhir ini biasanya berupa film pendek yang diangkat dari ide-ide kreatif para anggota.
Tak jarang, tema yang diangkat dekat dengan keresahan atau dilema anak muda. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 50 film pendek yang diproduksi oleh peserta dari lima angkatan (batch).
Baca juga: Kecintaan Mercy Tak Lekang Waktu Jadi Gaya Hidup, Warisan dan Jalinan Komunitas di Surabaya
Komunitas ini terbuka untuk siapa saja, terutama anak muda yang memiliki ketertarikan di dunia film. Usia peserta berkisar antara 17 hingga di bawah 30 tahun, dengan latar belakang beragam mulai dari pelajar SMA, SMK, hingga mahasiswa.
“Kebanyakan dari anak-anak yang baru lulus sekolah SMA, SMK, terus mahasiswa. Semua orang boleh ikut, tapi memang ada seleksinya. Ngirim CV, bikin video perkenalan, terus interview,” ujar Ardian.
Film-film hasil karya Taruna Liar biasanya diputar di Layar Liar, program pemutaran film yang tidak bergantung pada layar bioskop.
Pemutaran ini dilakukan di berbagai tempat alternatif seperti kafe atau ruang kreatif lainnya.
“Jadi karena filmnya banyak, terus kita juga tidak mau terlalu ngrusuhi (ganggu) pemutaran film lain (di bioskop), kadang mungkin tidak masuk kurasinya mereka gitu kan. Jadi adanya Layar Liar itu sebagai pemutaran alternatif,” ungkap Ardian.
Baca juga: Capai Satu Dekade, Ketika Energi Positif dan Persahabatan Jadi Fondasi Komunitas Perempuan di Surabaya
Ardian menilai bahwa ekosistem perfilman di Semarang belum sepenuhnya berkembang.
Karena itu, komunitas seperti Taruna Liar hadir sebagai bahan bakar awal—bensin, istilah yang ia gunakan—bagi anak muda yang ingin serius berkarya.
“Kalau kita mau berkarya perlu sumber daya, kita perlu bensin. Termasuk bensin di mana kita hidup. Jadi teman-teman sudah mulai, jangan terlalu naif kalau pengen maju. Ketika mau serius, cari jalan sendiri, karena kita bukan berada di kota yang ekosistem industri filmnya sudah settle,” pungkasnya.