MATARAM, Ketua Majelis Adat Sasak (MAS) Lalu Sajim Sastrawan menyayangkan pernikahan usia anak yang terus terjadi dan belakangan viral di media sosial serta menjadi sorotan publik.
“Mestinya pernikahan usia anak ini tidak perlu terjadi, jika semua pihak duduk bersama, mencari solusi, jalan keluar terbaik,” kata Sajim pada , Senin (26/5/2025).
Sajim mengatakan, pernikahan usia anak itu bisa diantisipasi dengan menerapkan tradisi kawin gantung, yakni orangtua bersepakat menikahkan anak-anak mereka, tetapi setelah dewasa, setelah mereka sudah siap sebagai pasangan suami istri.
Baca juga: Viral Pernikahan Dini di Lombok, Ayah Pengantin Terpaksa Nikahkan Anak karena Tradisi Kawin Culik
“Itu tradisi yang dilakukan oleh para bini sepuh bangsa Sasak dulu. Jadi, kawin gantung itu, anak-anak di bawah umur dipelihara oleh orangtua mereka dan dianggap sudah siap sebagai suami istri,” jelasnya.
Istilah ini mirip dengan pertunangan. Para orangtua meniatkan pernikahan anak-anak mereka untuk menyambung persahabatan dan silaturahmi.
Baca juga: Heboh Pernikahan Anak di Lombok Tengah, Orangtua Pengantin Wanita Ungkap Fakta Kawin Lari
MAS juga tidak sepakat dengan istilah kawin culik atau kawin lari. Menurutnya, tradisi merariq adalah kesepakatan antara laki-laki dan perempuan dewasa atau yang telah cukup umur untuk melangsungkan pernikahan dengan tradisi adat yang disebut merariq.
“Tradisi Merariq itu di mana pihak laki-laki dan keluarganya akan membawa perempuan meninggalkan keluarganya setelah mereka bersepakat dan telah merasa cocok untuk menempuh hidup baru. Bukan laki-laki membawa perempuan ke suatu tempat atau ke rumah keluarganya berdua saja. Ada orang lain (perempuan), entah itu ibunya atau keluarga laki-laki (yang perempuan) ikut serta saat membawa perempuan pilihannya untuk menikah. Bukannya mereka berdua saja, apalagi masih di bawah umur, itu bukan merariq namanya,” jelas Sajim.
Tata cara membawa gadis pilihannya inilah yang saat ini oleh anak-anak muda bahkan anak di bawah umur disalahartikan dan disalahpahami sebagai tradisi adat merariq.
Kata Sajim, hal ini memang menjadi persoalan semua pihak. Sosialisasi pemahaman adat istiadat ini tidak bisa hanya dari Majelis Adat Sasak yang bisa melakukan upaya itu. Menurutnya, pemerintah dan tokoh agama harus bersinergi.
Di masyarakat Lombok, jika anak gadis dibawa pergi dan tidak ada kabar selama 2 kali dalam 24 jam, maka akan terjadi dua proses bersamaan.