Home / Bali Nusra / Jawada, Kue Rambut Khas Nusa Tenggara Timur Renyah, Manis Sarat Filosofi

Jawada, Kue Rambut Khas Nusa Tenggara Timur Renyah, Manis Sarat Filosofi

Jakarta Di antara sekian banyak kuliner tradisional Nusantara yang unik dan memikat, Jawada yang juga dikenal sebagai kue rambut dan menyimpan daya tarik tersendiri dari segi tampilan, rasa, hingga makna budaya yang terkandung di dalamnya.Kue khas Nusa Tenggara Timur ini memiliki ciri visual yang tidak biasa. bentuknya menyerupai helaian rambut kusut terbakar atau seperti jalinan benang yang acak namun tetap berpola indah.Warna oranye kecokelatan yang menjadi identitas visual utamanya berasal dari kombinasi antara gula aren yang pekat dan proses penggorengan dalam minyak panas. Warna ini bahkan sering disebut mirip dengan rambut yang terbakar oleh sinar matahari tropis yang terik sebuah deskripsi yang mencerminkan iklim panas khas wilayah timur Indonesia, di mana Jawada lahir dan diwariskan dari generasi ke generasi.Namun di balik keunikannya yang terlihat sederhana, Jawada sesungguhnya menyimpan kisah panjang tentang kearifan lokal, teknik memasak tradisional, serta hubungan yang erat antara manusia dan alam sekitarnya. Jawada dibuat dari bahan-bahan yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan di Nusa Tenggara Timur, seperti tepung beras, gula aren, air nira, garam, dan minyak kelapa.Semua bahan ini tidak hanya mudah diperoleh, tetapi juga mencerminkan pemanfaatan hasil bumi secara optimal. Tepung beras sebagai bahan dasar memberi tekstur kering dan ringan, sementara gula aren dan air nira menyumbangkan rasa manis alami sekaligus warna khas yang menggoda.Proses pencampuran adonan dilakukan dengan kehati-hatian dan takaran yang pas, karena terlalu banyak air nira bisa membuat adonan sulit dibentuk, sedangkan kekurangan akan membuat teksturnya keras dan tak beraturan.Menariknya, proses mencetak Jawada bukan dengan cetakan modern, melainkan dengan alat tradisional seperti batok kelapa atau kaleng yang sudah dilubangi kecil-kecil pada bagian bawah. Dari lubang-lubang inilah adonan dialirkan langsung ke dalam minyak panas, membentuk jalinan tipis yang kemudian mengering dan berubah menjadi lembaran rambut renyah nan manis.Teknik penggorengan Jawada sendiri bukan sekadar proses memasak, melainkan sudah menjadi seni tersendiri yang membutuhkan ketelatenan dan pengalaman. Minyak harus benar-benar panas agar adonan bisa langsung mengembang dan kering begitu menyentuh permukaan.Waktu penggorengan pun harus tepat tidak boleh terlalu lama karena bisa membuat Jawada pahit, dan tidak boleh terlalu singkat agar tak terlalu lembek. Setelah matang, Jawada dikeringkan dan bisa disimpan dalam stoples tertutup agar awet dan tetap renyah dalam jangka waktu lama.Karena itu, Jawada sering dijadikan sebagai oleh-oleh khas daerah, juga menjadi camilan wajib dalam perayaan adat atau acara keluarga besar. Selain itu, bentuk dan warnanya yang mencolok juga membuatnya cocok dijadikan sajian pada hari raya atau pertemuan penting, sebagai representasi dari kehangatan dan keterbukaan masyarakat NTT yang selalu menyambut tamu dengan suguhan terbaik mereka.Dalam konteks sosial dan budaya, Jawada bukan hanya kudapan biasa, tetapi juga cerminan nilai-nilai hidup masyarakat Nusa Tenggara Timur. Bentuknya yang menyerupai rambut terbakar atau benang kusut bisa ditafsirkan sebagai simbol dari kompleksitas kehidupan yang tetap bisa dinikmati dengan rasa manis.Seperti juga cara masyarakat NTT menjalani kehidupan di tengah keterbatasan alam yang keras dengan iklim panas, tanah berbatu, dan curah hujan minim, namun tetap bisa menghasilkan karya kuliner yang menggugah selera dan penuh rasa syukur.Pembuatan Jawada sering kali dilakukan secara gotong royong, melibatkan perempuan dalam satu keluarga atau satu komunitas yang berkumpul untuk menyiapkan adonan, menggoreng, dan mengemas hasil akhirnya. Dengan begitu, Jawada juga menjadi bagian dari ritual sosial yang mempererat ikatan antaranggota masyarakat dan menghidupkan kembali nilai kebersamaan yang kini mulai luntur di era modern.Kini, di tengah derasnya arus modernisasi dan semakin beragamnya pilihan camilan instan, Jawada tetap bertahan sebagai salah satu simbol kuliner tradisional yang memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat NTT.Bahkan, berbagai inisiatif mulai dilakukan untuk mempromosikan Jawada ke pasar yang lebih luas, baik melalui festival kuliner daerah, program UMKM, hingga kemasan modern yang menarik minat generasi muda.Namun demikian, pelestarian Jawada seharusnya tidak berhenti pada aspek komersial semata. Lebih dari itu, perlu ada usaha untuk menjaga teknik pembuatan tradisional, nilai budaya, serta filosofi hidup yang terkandung dalam tiap lembarannya.Karena hanya dengan menjaga akar budaya itu, Jawada bisa terus dinikmati bukan hanya sebagai makanan ringan, tetapi juga sebagai medium cerita tentang ketangguhan, kreativitas, dan cinta masyarakat NTT terhadap warisan nenek moyangnya.Penulis: Belvana Fasya Saad

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *