JAKARTA, KOMPAS.com — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan berpeluang menguat ke kisaran 7.300 pada Juni 2025. Potensi penguatan ini ditopang oleh sejumlah faktor ekonomi, mulai dari stimulus domestik, pergeseran arah kebijakan moneter global, hingga tren musiman seperti window dressing dan laporan keuangan emiten.
Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata mengatakan, secara historis sejak 2020, IHSG cenderung menghijau sepanjang bulan Juni.
Dengan mempertimbangkan pola tersebut serta dinamika ekonomi terkini, IHSG diproyeksikan bergerak sideways cenderung menguat di rentang 7.000–7.300.
“Bahkan, IHSG bisa menembus resistance 7.300 jika didukung net buy asing, stabilitas nilai tukar, dan stimulus dalam negeri,” kata Liza dalam riset tertulis, Kamis (29/5/2025).
Baca juga: Soal IPO Persib Bandung, Pengamat: Harga Saham Ikut Kinerja Keuangan, Bukan Prestasi Klub
Ia menjelaskan, ada beberapa katalis penting yang menopang pergerakan IHSG di awal semester kedua ini. Salah satunya adalah peluncuran enam kebijakan stimulus ekonomi oleh pemerintah mulai 5 Juni 2025.
Paket kebijakan tersebut mencakup diskon tarif listrik dan transportasi, bantuan sosial, serta bantuan pangan langsung.
Momentum libur panjang sekolah ditambah diskon tarif tol sebesar 20 persen juga dinilai mendorong konsumsi rumah tangga, sektor transportasi, dan pariwisata.
“Stimulus konsumsi ini menjadi katalis penting untuk mendukung kinerja emiten sektor ritel dan transportasi,” ujarnya.
Baca juga: Emiten Sawit Milik Haji Isam Bagikan Dividen Rp 2,07 Per Saham
Katalis lainnya datang dari penurunan suku bunga penjaminan simpanan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dari 4,25 persen menjadi 4,00 persen.
Menurut Liza, pelonggaran ini memberi ruang likuiditas lebih besar di sistem perbankan, yang kemudian dapat mengalir ke sektor riil melalui kredit maupun investasi pasar modal.
“Turunnya bunga simpanan mendorong pelaku pasar mencari instrumen dengan imbal hasil lebih tinggi, seperti saham dan reksa dana,” ujarnya.
Baca juga: Telkom Indonesia (TLKM) Bakal Evaluasi Belanja Modal agar Aset Lebih Produktif
Selain itu, investor juga tengah mencermati arah kebijakan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve.
Jika The Fed mengisyaratkan sikap lebih dovish dalam pertemuan FOMC Juni–Juli, termasuk kemungkinan penurunan suku bunga, arus modal asing ke pasar negara berkembang seperti Indonesia bisa menguat.
“Kalau The Fed mulai menurunkan suku bunga lebih cepat dari ekspektasi, maka peluang IHSG menembus 7.300 cukup terbuka,” katanya.
Namun demikian, investor tetap mewaspadai risiko eksternal seperti ketegangan geopolitik serta proses negosiasi tarif antara Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa. Menurut Liza, batas akhir 90 hari jeda waktu tarif “Liberation Day” pada 9 Juli bisa menjadi titik kritis dinamika pasar global.
“Jika perundingan tidak memburuk, sentimen pasar bisa tetap kondusif,” kata dia.
Ia menambahkan, menjelang rilis laporan keuangan kuartal II 2025 dan semesteran, ada kecenderungan fund manager melakukan akumulasi di sektor-sektor defensif dan emiten dengan potensi pertumbuhan laba yang kuat.
Untuk diketahui, IHSG menutup perdagangan akhir Mei 2025 di level 7.175.
Baca juga: Lima Sentimen Ini Bakal jadi Penentu Pergerakan IHSG Juni 2025