Home / OTOMOTIF / Fenomena Solidaritas Ojol: Jaring Pengaman Sosial di Jakarta

Fenomena Solidaritas Ojol: Jaring Pengaman Sosial di Jakarta

JAKARTA, Hhiruk-pikuk kota dan tekanan ekonomi harian, para pengemudi ojek online (ojol) tidak hanya berbagi jalan, tetapi juga harapan dan beban hidup.

Di banyak sudut kota, tidak sulit menemukan pemandangan satu ojol membantu rekannya yang ban motornya kempis, mengalami kecelakaan ringan, hingga patungan membantu keluarga yang sedang kesusahan.

Fenomena solidaritas ini menjadi semacam “jaring pengaman sosial informal” yang muncul dari bawah, di saat sistem perlindungan kerja formal belum mampu menjangkau para pekerja di sektor gig economy secara menyeluruh.

Baca juga: Honda Yakin Bisa Bangkit dan Kembali Jadi Incaran Para Pebalap

Menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, fenomena ini mencerminkan adanya ketimpangan yang sudah berlangsung lama.

“Bekerja tidak dalam kepastian, status keren sebagai mitra, tetapi realitanya tanpa penghasilan tetap, tidak ada jadwal hari libur, tidak ada jaminan kesehatan, jam kerja tidak terbatas,” kata Djoko kepada Kompas.com, Selasa (20/5/2025).

Djoko menambahkan, meski para pengemudi ojol kerap disebut sebagai mitra oleh aplikator, status tersebut pada praktiknya tidak diikuti dengan perlindungan kerja sebagaimana layaknya pekerja formal.

Tanpa jaminan sosial, tanpa batasan waktu kerja, dan seringkali dengan penghasilan yang tak menentu, para pengemudi terpaksa membentuk komunitas dan sistem solidaritas mandiri agar bisa bertahan hidup.

Solidaritas itu tampak dalam berbagai bentuk: dari saling mengabari titik order ramai, berbagi makan saat tidak dapat penumpang, hingga gotong royong jika ada rekan yang jatuh sakit atau mengalami musibah.

Bahkan, di beberapa kota, komunitas ojol telah membentuk koperasi internal dan dana sosial.

Bagi mereka, inilah satu-satunya cara mengisi kekosongan perhatian dari aplikator dan negara.

Fenomena ini, menurut Djoko, menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya hadir untuk memastikan hak-hak dasar pekerja digital terpenuhi.

“Mereka bisa dibilang bekerja dalam ruang gelap regulasi. Tak sepenuhnya informal, tapi juga tak dilindungi secara formal,” ujarnya.

Baca juga: Yamaha Mio M3 Warna Baru Meluncur, Harga Rp 18 Jutaan

Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk segera merancang regulasi ketenagakerjaan yang inklusif terhadap pekerja sektor daring. “Jangan hanya puas mengakui mereka sebagai tulang punggung ekonomi digital, tapi kosong perlindungan,” kata Djoko.

Solidaritas di kalangan ojol bukan sekadar cerita kebaikan antarindividu.

Ia adalah cermin dari ketimpangan struktural yang tak kunjung dibenahi.

Di saat sistem belum berpihak, rasa kemanusiaan antarojol menjadi satu-satunya perlindungan nyata yang mereka miliki.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *