Bunga kerap memukau kita dengan keindahan warnanya, namun sesungguhnya, sebagian kisah paling menarik dalam dunia tumbuhan tersembunyi di balik hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian. Salah satunya adalah pola “bullseye” – lingkaran gelap serupa target yang mencolok di dasar kelopak bunga Hibiscus atau kembang sepatu.
Pola ini tidak sekadar ornamen. Ia adalah penanda visual penting yang memandu serangga penyerbuk seperti lebah menuju pusat bunga tempat reproduksi berlangsung. Tapi, yang mengejutkan, beberapa spesies kembang sepatu justru kehilangan pola ini. Mengapa evolusi menghapus fitur yang tampaknya begitu bermanfaat?
Baca juga: Kembang Sepatu Bantu Mengatasi Obesitas?
Bagi lebah, pola bullseye pada kelopak bukan sekadar dekorasi. Ini adalah sinyal navigasi. Pola tersebut mengandung pigmen anthocyanin yang menyerap cahaya ultraviolet dan menciptakan kontras tinggi bagi penglihatan lebah. Hasilnya, lebah lebih tertarik pada bunga dengan bullseye yang tegas.
May Yeo, mahasiswa doktoral di kelompok riset Dr. Edwige Moyroud dari Sainsbury Laboratory, University of Cambridge, mengungkapkan: “Kami menemukan bahwa lebah secara jelas lebih menyukai bunga dengan bullseye besar dan gelap, yang berfungsi sebagai panduan visual menuju pusat bunga.”
Secara teori, preferensi ini seharusnya mendorong evolusi untuk mempertahankan atau memperbesar pola tersebut. Namun kenyataannya, para peneliti menemukan anomali: beberapa spesies seperti Hibiscus verdcourtii telah sepenuhnya kehilangan pola bullseye, sementara spesies lain seperti H. richardsonii hanya memiliki pola samar. Pertanyaan besar pun muncul: apa penyebabnya?
Baca juga: Tips Menanam dan Merawat Pohon Kembang Sepatu
Tim peneliti menemukan bahwa hilangnya pola ini berakar pada satu gen utama: BERRY1. Gen ini mengendalikan apakah enzim penghasil pigmen akan diaktifkan di bagian dasar kelopak. Ketika gen ini berfungsi normal, seperti pada H. trionum, bunga menampilkan bullseye ungu yang besar. Namun pada H. richardsonii, BERRY1 mengalami banyak mutasi – termasuk “stop codon” prematur dan penyisipan urutan – yang menyebabkan gen tidak aktif. Akibatnya, proses produksi pigmen seperti DFR1 pun terhenti.
Lebih ekstrem lagi, pada beberapa populasi H. verdcourtii, gen BERRY1 bahkan hilang sepenuhnya. Tidak mengherankan, bunga ini benar-benar tidak memiliki pola bullseye.
“Ciri-ciri bunga seperti bullseye bukan hanya soal penampilan – mereka punya dampak nyata terhadap reproduksi dan kelangsungan hidup tanaman,” kata Dr. Moyroud.
Baca juga: Ketahui, 8 Penyebab Daun Kembang Sepatu Menguning
Yang menarik, hilangnya pola ini terjadi berulang kali di berbagai spesies Hibiscus melalui jalur genetik yang mirip – sebuah fenomena yang disebut evolusi konvergen. Artinya, meski spesies berbeda berevolusi secara independen, mereka menempuh jalan serupa untuk mencapai hasil yang sama: menghilangkan bullseye.
Ini menandakan adanya tekanan seleksi yang kuat. Dalam kondisi tertentu, biaya mempertahankan pola bullseye mungkin lebih besar daripada manfaatnya.
“Apa yang tampak seperti penurunan fungsi visual ternyata adalah adaptasi terhadap tekanan lingkungan yang lebih kompleks dari sekadar penyerbukan,” terang tim peneliti.
Baca juga: 5 Fakta Unik soal Bunga Sepatu
Apa sebenarnya alasan hilangnya pola bullseye ini bisa menguntungkan? Jawabannya terletak pada persaingan biokimia antar pigmen. Jalur molekuler yang menghasilkan anthocyanin untuk warna juga digunakan untuk membuat flavonol – pigmen tak terlihat yang melindungi dari radiasi UV.
Ketika gen BERRY1 rusak, produksi anthocyanin terhenti dan sumber daya kimia dialihkan ke flavonol. Hasilnya, bunga tanpa bullseye justru memiliki perlindungan UV yang lebih baik. Dalam lingkungan dengan intensitas sinar UV tinggi atau di mana ketergantungan pada penyerbuk berkurang, strategi ini menjadi lebih menguntungkan.
Baca juga: Morfologi Bunga Sepatu: Ciri, Struktur, Bagian, dan Manfaatnya
Transformasi ini mencerminkan bagaimana evolusi adalah tarik ulur antara bertahan hidup dan bereproduksi. Warna dan pola bukan sekadar keindahan, melainkan cerminan strategi bertahan hidup.
“Dengan memahami bagaimana warna dan pola bunga berevolusi, kita bisa menjawab pertanyaan lebih luas tentang asal-usul keanekaragaman hayati,” jelas Yeo.