Home / REGIONAL / Ekonomi Enggano Lumpuh, Warga Barter Ikan demi Beras

Ekonomi Enggano Lumpuh, Warga Barter Ikan demi Beras

BENGKULU, Sekitar 4.000 warga Pulau Enggano, Bengkulu, terdampak lumpuhnya ekonomi akibat pendangkalan alur di Pelabuhan Pulau Baai. Selama delapan bulan terakhir, kapal tidak dapat bersandar, membuat aktivitas pengiriman penumpang dan barang, termasuk hasil bumi, terganggu.

Kondisi ini memaksa Kapal Motor Penumpang (KMP) Pulo Tello yang biasanya melayani rute Bengkulu–Enggano harus lepas jangkar di tengah laut. Penumpang dan barang kemudian diangkut menggunakan kapal-kapal kecil atau dilansir menuju pelabuhan, proses yang memakan waktu berjam-jam.

“Kapal terpaksa menurunkan penumpang di tengah laut, tak bisa masuk ke pelabuhan. Dari tengah laut, para penumpang diangkut bergiliran menggunakan kapal kecil,” ujar Kepala Supervisi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Bengkulu.

Baca juga: Delapan Bulan Pelabuhan Pulau Baai Mati Suri, Ekonomi Alami Kontraksi

Imbas dari prosedur pelansiran ini, angkutan hasil bumi seperti pisang, kakao, ikan, dan lainnya tidak bisa dilakukan secara normal. Truk atau mobil pikap yang biasa digunakan untuk pengangkutan tidak dapat naik ke kapal karena kapal tidak bersandar.

**Ekonomi Warga Lumpuh, Warung Sepi, Panen Tak Terjual**

Paabuki atau koordinator suku-suku di Enggano, Milson Kaitora, menyebut perekonomian di pulau tersebut nyaris lumpuh.

“Kehidupan ekonomi di sini boleh dibilang lumpuh. Warung-warung sepi, rumah makan bahkan ada yang tutup. Tidak ada orang berbelanja, karena tidak ada uang,” kata Milson dalam temu kampung bersama AMAN Wilayah Bengkulu di Malakoni, Rabu (18/6/2025).

Meskipun layanan penumpang sempat kembali berjalan sepekan terakhir, pengangkutan hasil bumi tetap tidak berfungsi.

“Meski harus turun di tengah laut kalau ke kota, tapi cukuplah. Tapi bagaimana hidup kami di sini, ini yang tidak diperhatikan pemerintah,” katanya.

Ketua Pengurus Daerah AMAN Enggano, Mulyadi Kauno, mengatakan sejumlah petani harus mengeluarkan biaya hingga Rp 20 juta untuk menyewa kapal nelayan agar bisa menjual hasil panen. Sementara yang tidak punya biaya, memilih membiarkan panen membusuk.

“Tidak ada yang mau panen, karena untuk apa. Hasilnya tidak bisa dijual,” ujar Mulyadi.

Harga jual pisang oleh para tauke juga ditekan hingga 60 persen karena biaya angkut mahal.

“Potongan harga itu untuk menutupi biaya operasional kapal. Jadi sama saja, tidak dapat uang juga,” kata dia.

Rahmawati, ibu rumah tangga di Desa Malakoni, mengatakan kini warga mengandalkan sistem barter untuk kebutuhan pokok.

“Ikan segenceng (1,5 kilogram) kami tukar ke beras 1 kilogram. Karena tidak ada uang, mau belanja pakai apa?” ujarnya.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *