Home / Sulawesi / Duh, Terpidana Kasus Pencabulan Masih Aktif Bekerja di Kanwil Kemenag Gorontalo

Duh, Terpidana Kasus Pencabulan Masih Aktif Bekerja di Kanwil Kemenag Gorontalo

Gorontalo – Seorang terpidana kasus pencabulan anak, berinisial MA alias Fuad, tetap berstatus sebagai tenaga honorer di Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Gorontalo, meskipun telah divonis tujuh bulan penjara oleh pengadilan.Tak hanya itu, usai menjalani masa hukuman, MA diketahui mengikuti dan dinyatakan lulus dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) di instansi yang sama.Fakta ini menimbulkan sorotan publik, mengingat Kemenag adalah institusi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan perlindungan terhadap anak.Muncul pertanyaan apakah keputusan mempertahankan MA sebagai honorer mencerminkan pembiaran sistematis, atau hanya sekadar kelengahan administratif?Padahal, kasus yang menyeret MA ini tercatat dalam Direktori Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo dengan nomor perkara 38/Pid.B/2024/PN Gto yang memiliki kekuatan hukum tetap.Ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pencabulan dengan kekerasan, dan divonis tujuh bulan penjara. Kendati demikian, MA tidak diberhentikan dari statusnya sebagai tenaga honorer. Pimpinan Tahu, Namun Tak BertindakInformasi yang dihimpun menyebutkan, bahwa Kepala Kanwil Kemenag Gorontalo telah mengetahui status hukum MA, tetapi tetap membiarkan proses seleksi berjalan tanpa evaluasi lebih lanjut.Tidak ada langkah konkret untuk meninjau ulang integritas moral maupun kelayakan etika dari yang bersangkutan.”Dia tetap diizinkan ikut seleksi setelah keluar dari penjara. Karena secara administrasi memenuhi syarat dan ada SKCK,” kata Kabag TU.Kebijakan ini langsung menuai kritik dari masyarakat. Banyak pihak menilai Kemenag Gorontalo gagal menunjukkan keteladanan moral sebagai institusi yang bertugas menjaga nilai-nilai keagamaan dan etika publik.Sebab, ini semata bukan soal dokumen atau SKCK. Ini soal integritas, etika, dan tanggung jawab moral kepada masyarakat, khususnya kepada anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual.Kasus ini seakan mencerminkan birokrasi yang lebih mengutamakan kelengkapan dokumen ketimbang kepekaan etika. Alih-alih mengambil sikap tegas, institusi justru berlindung di balik dalih administratif.Publik mendesak agar Kemenag Gorontalo melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses seleksi P3K dan sistem pengawasan internal.Penegakan nilai moral dan perlindungan terhadap anak seharusnya menjadi prioritas utama, bukan sekadar kepatuhan administratif.Kemenag sebagai institusi negara yang berperan dalam pembinaan moral dan spiritual masyarakat dituntut untuk lebih sensitif terhadap isu-isu etika, terutama yang menyangkut kasus kekerasan seksual.Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag TU) Kemenag Gorontalo ketika dikonfirmasi H. Mahmud Y. Bobihu membenarkan bahwa selama MA menjalani hukuman, surat keputusan (SK) sebagai honorer tetap berlaku.”SK-nya tidak dicabut karena sudah ditandatangani sebelumnya. Kami hanya menghentikan pembayaran gaji selama yang bersangkutan berada dalam masa tahanan,” ujarnya kepada wartawan di Gorontalo.Menurut Kabag TU, dalam aturan penerimaan P3K, pelamar hanya dinyatakan tidak memenuhi syarat apabila pernah dihukum penjara lebih dari dua tahun. Karena MA divonis tujuh bulan, ia dinilai masih memenuhi kriteria administratif.”Yang bersangkutan juga melampirkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) saat mendaftar. Jadi dari sisi berkas, tidak ada masalah,” tambahnya. 

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *