Jakarta – Status pemindahan empat pulau milik Aceh (Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang) yang kini ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara mulai menuai polemik dan ramai di tengah masyarakat.Perubahan status administratif itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra, Bahtra Banong meminta semua pihak baik pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri, Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota serta masyarakat kedua provinsi tersebut agar menyelesaikan masalah tersebut dengan azas kekeluargaan.Selain itu juga dengan musyawarah mufakat dan terutama sesuai mekanisme peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan tanpa provokasi perpecahan apalagi digiring keranah isu politik.”Konflik batas wilayah, khususnya antarprovinsi yang melibatkan pulau kecil seperti yang terjadi antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara bukan sekadar masalah teknis peraturan, tapi juga menyangkut identitas, histori, ekonomi, sosial dan sejarah,” kata Bahtra dalam keterangannya, Sabtu (14/6).”Oleh karena itu, penyelesaiannya harus berdasarkan azas kekeluargaan, musyawarah mufakat, holistik, adil, dan partisipatif menggabungkan hukum, teknologi geospasial, sejarah, dan dialog sosial,” sambungnya.Oleh karena itu, Bahtra menilai ada empat hal yang perlu dilakukan terkait perebutan 4 pulau tersebut seperti penundaan eksekusi Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 hingga dilakukan klarifikasi lapangan.Selain itu, Pembentukan Tim Klarifikasi Wilayah oleh Kemendagri bersama Pemprov Aceh & Sumut, BIG, BPN, dan DPR RI. Pelibatan masyarakat lokal dan lembaga adat Aceh sebagai bagian dari proses verifikasi fakta.Kemudian, Revisi Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 jika terbukti secara yuridis dan historis bahwa 4 pulau tersebut milik Aceh.”Yang paling utama Kepmendagri tersebut tidak boleh bertentangan UUD 1945 Pasal 18B (2): Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa (termasuk Aceh), UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yang mengatur batas wilayah negara,” jelasnya.”Termasuk perbatasan antarprovinsi, wilayah laut, dan pulau-pulau kecil, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) serta PP No. 62 Tahun 2009 tentang Pemerintah Aceh,” sambungnya. Selain itu, legislator dapil Sulawesi Tenggara itu juga menekankan agar perebutan 4 pulau tersebut tidak digiring keranah politik, apalagi provokasi konflik antar wilayah dan konflik horisontal.”Setelah masa reses selesai, Komisi II DPR RI akan fasilitasi pertemuan Kemendagri, Pemprov Aceh, Pemprov Sumut, Pemkab Aceh Singkil dan Pemkab Tapanuli Tengah untuk duduk bersama mencari solusi yang tepat dengan azas kekeluargaan dan persatuan,” ujarnya. Bahtra menyebut, kasus perebutan pulau antar wilayah di Indonesia tidak hanya terjadi di Aceh dan Sumut, tetapi terjadi juga di daerah lain.”Seperti kasus pulau talan dan pulau babi (NTT vs Maluku), kasus Muara Sungai Tambangan (Kalteng vs Kalsel), kasus pulau semak daun dan pulau cipir (DKI Jakarta vs Banten), dan daerah lainnya,” sebutnya.Bahkan kata Bahtra di dapilnya sendiri ada kasus serupa, misalnya kasus pulau kakabia (Kawi-Kawia) yang diklaim oleh dua provinsi yakni Sulsel (kabupaten kepulauan Selayar) dan Sulawesi Tenggara (Kabupaten Buton Selatan).Sumber: Nur Habibie/Merdeka.com
DPR Minta Revisi Kepmendagri Terkait Polemik 4 Pulau Aceh Masuk Sumut

Tag:Breaking News