Home / Peristiwa / Debu Batubara Masih Hantui Warga Marunda: Kami Sudah Lelah Mengeluh

Debu Batubara Masih Hantui Warga Marunda: Kami Sudah Lelah Mengeluh

Jakarta – Udara di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara kembali terasa berat untuk dihirup. Bau tajam dan debu halus yang menempel di jendela dan ubin rumah kembali menyapa warga, pertanda polusi udara yang dulu sempat mereda, kini kembali hadir.Aktivitas bongkar muat batu bara di Pelabuhan Marunda disebut-sebut sebagai penyebab utamanya.Cecep Supriadi, penghuni Rusunawa Marunda sejak 2017, tak pernah lupa bagaimana debu hitam mulai menyusup ke rumah-rumah warga. Sejak awal 2022, ia dan keluarga hidup berdampingan dengan polusi.“Kita ngerasainnya dari awal tahun 2022. Debunya nempel di selasar rumah, warnanya hitam,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (13/6/2025).Namun bukan hanya debu yang menjadi persoalan. Asap, kata Cecep, membuat banyak warga jatuh sakit. Penyakit kulit hingga gangguan pernapasan seperti ISPA menjadi keluhan umum.”Banyak yang gatal-gatal, banyak juga yang sesak napas. Anak-anak gak bisa main di RPTRA, udara sudah gak sehat,” katanya.Cecep menggambarkan suasana permukiman yang berubah drastis. Jendela dan pintu rumah harus selalu ditutup rapat. Aktivitas luar ruang dibatasi. Kebiasaan warga berkumpul di luar pun menghilang, berganti dengan kesendirian di dalam rumah.”Kalau disapu, dipel, nanti ada lagi. Udara buruk bukan cuma berdampak ke kesehatan, tapi juga ke sosial. Kita jadi terkurung,” katanya lirih.Awalnya, warga tak tahu pasti asal muasal polusi. Tapi kemudian, sebuah surat dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengungkap bahwa pencemaran berasal dari kegiatan bongkar muat batu bara oleh perusahaan yang melanggar aturan.Sedikitnya 32 item pelanggaran dicatat, mulai dari standar operasional hingga pengelolaan limbah udara.“Dari surat itu, kami tahu ada pelanggaran. Ada 32 poin yang gak ditaati,” ungkapnya. Warga tak tinggal diam. Bersama LBH Jakarta, WALHI, Greenpeace, dan JATAM, mereka membentuk koalisi untuk menyuarakan keresahan. Beberapa kali audiensi dilakukan, baik ke Dinas Lingkungan Hidup, ke gubernur, maupun instansi lainnya.DLH DKI dan BRIN sempat memasang alat pemantau kualitas udara di Marunda. Tapi upaya itu hanya berlangsung sebentar.”Alatnya cuma beberapa hari. Mereka ngambil sampel debu, tapi sampai sekarang hasilnya gak pernah kami tahu,” kata Cecep.Meski sempat dihentikan, kini aktivitas bongkar muat batu bara kembali menggeliat. Izin amdal telah dikeluarkan, dan polusi kembali muncul—meski tidak separah dua tahun lalu.”Sekarang gak seperti dulu. Cuma masih ada. Kadang sebulan sekali, dua kali,” katanya.Senada dengan Cecep, Ketua Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM), Didi Suwandi, juga menyuarakan keprihatinan. Menurutnya, wilayah Marunda Kepu menjadi daerah yang paling terdampak saat aktivitas pelabuhan berjalan.“Informasinya memang sekarang sudah aktif lagi. Yang paling kena itu Marunda Kepu,” ujar Didi.Ia menyoroti lemahnya pengawasan dari lembaga terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, dan KSOP Marunda.“Ini bukan cuma soal debu. Ini soal pengawasan yang gagal. Kami sudah berkali-kali bicara, minta pengawasan ketat di kawasan industri yang dekat permukiman,” tegasnya. Didi menyebut, Menteri Lingkungan Hidup sempat berkunjung ke Marunda. Namun, belum ada tindakan konkret yang dirasakan warga hingga kini.“Kami sudah sampaikan langsung ke Pak Menteri. Tapi ya begini-begini saja,” katanya kecewa.Ia menuntut pemerintah segera mengevaluasi izin aktivitas bahan curah seperti batu bara yang berpotensi mencemari udara, serta menyiapkan sistem peringatan dini.“Warning system itu penting. Jangan tunggu warga sakit dulu. Dan kalau sudah terjadi, segera lakukan penanganan kesehatan. Ini bukan cuma soal lingkungan, ini soal nyawa,” tandasnya.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *