Jakarta Suara dentuman drum dari fans Botafogo dan sorak-sorai menyatu di stadion, berubah jadi gema yang menyelimuti California. Mereka datang bukan untuk sekadar hadir. Mereka datang dengan harapan, bahwa tim mereka, juara Amerika Selatan, bisa mengguncang raksasa Eropa, PSG.Tak ada yang menyangkal beratnya tugas yang dihadapi. PSG bukan tim sembarangan. Tapi seperti yang dikatakan pelatih Renato Paiva sehari sebelum laga: “Pemakaman sepak bola penuh dengan tim favorit.”Botafogo percaya pada peluang sekecil apa pun. Dan mereka membuktikan bahwa kepercayaan itu bukan sekadar mimpi kosong.Pertandingan pun dimulai dengan Botafogo tampil gigih dan tak kenal takut. PSG menguasai bola, seperti biasa, namun terbentur dinding kokoh pertahanan tim Brasil yang digalang Alexander Barboza dan Jair Cunha, pemain muda usia 20 tahun yang tampil luar biasa.Botafogo tahu mereka tak akan dapat banyak peluang. Tapi mereka hanya butuh satu. Jefferson Savarino, si jenius lapangan tengah yang dijuluki penyihir oleh Alex Telles, menciptakan momen emas.Umpan terobosannya membelah pertahanan PSG dan menemukan Igor Jesus yang tanpa ampun mengeksekusi bola ke gawang lawan. Gol yang kemudian merobek atmosfer dan membuat stadion meledak oleh kegembiraan suporter Brasil.Setelah itu, PSG panik. Luis Enrique menurunkan semua senjata, tapi tak ada yang bisa menembus barikade Botafogo. Mereka bermain dengan tubuh, hati, dan keberanian. Mereka tak memberi ruang, tak memberi hormat. Savarino bahkan nyaris menambah gol di awal babak kedua.Ini bukan hanya kemenangan dalam skor, tapi kemenangan dalam filosofi. Botafogo bukan klub besar dalam konteks modern, tidak sekaya Flamengo, tidak segemerlap Palmeiras.Mereka bahkan hanya klub dengan jumlah fans ke-10 terbanyak di Brasil. Tapi mereka punya semangat, punya pemilik ambisius seperti John Textor, dan punya skuad yang percaya pada kekompakan daripada popularitas.Saat peluit akhir berbunyi, emosi meledak di seluruh penjuru stadion. Igor Jesus tersungkur menangis, Barboza menunjuk ke langit, dan Textor berteriak seperti baru memenangkan lotre. Ini bukan sekadar hasil, ini sejarah.“Gila … kami bahkan tak percaya,” kata Santiago Rodriguez sambil tertawa. “Sejarah,” tambah Barboza. Artur, yang sepanjang laga jadi momok PSG, tak sanggup berdiri. “Ini malam yang takkan kami lupakan seumur hidup.”Sementara itu, sang kapten Marlon Freitas, nyaris tak bisa bicara. “Ini… supranatural,” katanya dengan suara bergetar. “Kami tahu ini akan sulit. Saya rasa Botafogo hanya punya satu persen peluang untuk menang. Tapi satu persen bagi kami adalah segalanya.”Suara pukulan drum dan sorakan suporter Botafogo masih menggema bahkan setengah jam setelah laga usai. Sementara fans PSG sudah lama pulang, suporter Brasil tetap bertahan, menari, bernyanyi, bermimpi.
Botafogo Hantam PSG: Dongeng Amerika Selatan yang Hidup Kembali di California

Tag:Breaking News