Home / Ekonomi / Bolivia Hadapi Risiko Gagal Bayar Utang Jika Tak Ada Pendanaan Baru

Bolivia Hadapi Risiko Gagal Bayar Utang Jika Tak Ada Pendanaan Baru

Jakarta – Bolivia yang tengah berjuang melawan krisis ekonomi yang telah menjerumuskannya ke dalam keresahan sosial. Presiden Bolivia, Luis Arce menuturkan, pihaknya berisiko gagal bayar utang jika tidak memperoleh pembiayaan asing baru.”Kami berusaha untuk tidak gagal bayar. Kami memiliki niat untuk membayar utang, tetapi bagaimana jika kami tidak memiliki sumber daya?,” ujar dia seperti dikutip dari Yahoo Finance, ditulis Minggu (21/6/2025).Utang luar negeri Bolivia mencapai USD 13,3 miliar atau sekitar Rp 218,02 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.393). Kreditor utama adalah the Inter-American Development Bank, the Development Bank of Latin America and the Caribbean (CAF), Bank Dunia dan China.Arce tidak dapat meyakinkan parlemen untuk mengizinkannya mencari pinjaman baru USD 1,8 miliar atau sekitar Rp 29,50 triliun dari lembaga multilateral.Negara itu membutuhkan USD 2,6 miliar atau Rp 42,62 triliun pada Desember untuk impor bahan bakar dan pembayaran utang luar negeri.”Kita membuat kesepakatan terburuk sebagai sebuah negara. Karena ketika seseorang memiliki utang luar negeri, Anda membayar pokok dan bunga kepada kreditor, dan arus keluar dolar AS itu dikompensasi oleh arus masuk pencairan baru dari utang baru yang tidak terjadi,” ujar presiden.Utang Bolivia mewakili lebih dari 37 persen dari pendapatan nasional brutonya, menurut Bank Dunia. Terakhir kali negara itu gagal bayar adalah pada tahun 1984.Arce telah menolak seruan untuk mundur karena krisis ekonomi yang ditandai dengan kekurangan mata uang asing, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya.     Namun, ia mengatakan tidak akan mencalonkan diri kembali pada bulan Agustus, dengan peringkat persetujuannya sebesar 9,0%, salah satu yang terendah di Amerika Selatan, menurut lembaga survei Latinobarometro.Bolivia, rumah bagi 12 juta orang dan mayoritas penduduk asli, adalah salah satu negara termiskin di benua itu meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti gas dan litium.Utang Bolivia mewakili lebih dari 37 persen dari pendapatan nasional bruto, menurut Bank Dunia. Terakhir kali negara itu gagal bayar adalah pada 1984.Arce telah menolak seruan untuk mengundurkan diri karena krisis ekonomi yang ditandai dengan kekurangan mata uang asing, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya.Namun, ia mengatakan tidak akan mencalonkan diri kembali pada Agustus, dengan tingkat persetujuannya sebesar 9,0% salah satu yang terendah di Amerika Selatan, menurut lembaga survei Latinobarometro.Sebelumnya, Bank Dunia mengingatkan perang perdagangan berisiko memperparah lonjakan utang dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara berkembang melambat.Mengutip US News, Senin (28/4/2025) Kepala Ekonom Bank Dunia, Indermit Gill mengungkapkan bahwa krisis saat ini akan semakin menekan pertumbuhan di pasar negara berkembang, setelah penurunan yang stabil dari level sekitar 6% dua dekade lalu, dengan perdagangan global sekarang diperkirakan tumbuh hanya 1,5%.Angka tersebut jauh di bawah pertumbuhan 8% yang terlihat pada 2000-an.”Jadi, ini adalah perlambatan mendadak di atas situasi yang tidak terlalu baik,” kata Gill.Ia juga menyebutkan bahwa aliran portofolio ke pasar berkembang dan investasi langsung asing (FDI) berisiko menurun, seperti yang terjadi selama krisis sebelumnya.”FDI adalah 5% dari PDB di pasar berkembang selama masa-masa baik. Sekarang sebenarnya 1% dan aliran portofolio dan aliran FDI secara keseluruhan turun,” bebenya.  Pernyataan Gill datang menyusul pertemuan musim semi Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia pekan ini di Washington yang membahas kekhawatiran tentang dampak ekonomi dari tarif impor baru AS, dan tarif balasan yang diumumkan oleh Tiongkok, Uni Eropa, Kanada, dan lainnya.Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai sebesar 2,8% untuk tahun 2025, setengah poin persentase lebih rendah dari perkiraannya pada bulan Januari.Selain itu, Gill juga mengatakan, tingkat utang yang tinggi berarti setengah dari sekitar 150 negara berkembang dan pasar berkembang tidak dapat melakukan pembayaran layanan utang atau berisiko melakukannya, tingkat yang dua kali lipat dari tingkat yang terlihat pada tahun 2024, dan dapat tumbuh lebih jauh jika ekonomi global melambat.”Jika pertumbuhan global melambat, perdagangan melambat, lebih banyak negara dan suku bunga tetap tinggi, maka Anda akan membuat banyak negara ini mengalami kesulitan utang, termasuk beberapa yang merupakan eksportir komoditas,” jelasnya. 

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *