Jakarta – Autisme bukanlah satu kondisi yang bisa digeneralisasi. Saat ini, istilah yang lebih tepat digunakan adalah gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD). Sebab, kondisi ini memiliki rentang gejala dan tingkat keparahan yang luas—dari ringan, sedang, hingga berat.Menurut dr. Citra Raditha, Sp.A(K), Spesialis Anak Subspesialis Neurologi Anak dari RSAB Harapan Kita, autisme adalah gangguan perkembangan dan perilaku yang ditandai oleh tiga hal utama: gangguan interaksi sosial, komunikasi dua arah, serta perilaku yang terbatas dan berulang-ulang.“Autisme itu gangguan perkembangan dan perilaku, di mana terdapat defisit dalam interaksi dua arah, sosialisasi, dan komunikasi dua arah. Ditambah dengan keterpakuan atau obsesi terhadap sesuatu, seperti gerakan, rutinitas, atau minat tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang,” jelas dr. Citra dalam Talkshow Keluarga Sehat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dikutip Jumat (13/6).Selama ini, masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa anak dengan autisme pasti menunjukkan gejala ekstrem, seperti sama sekali tidak bicara atau tidak mau berinteraksi. Padahal, menurut dr. Citra, tidak semua anak dengan autisme menunjukkan tanda yang mencolok.“Sekarang autisme itu punya spektrum. Jadi ada yang ringan, sedang, hingga berat. Anak dengan spektrum ringan bisa saja masih berinteraksi atau berbicara, tapi tetap ada gangguan dalam kualitas interaksi atau komunikasinya. Inilah yang kadang membuat diagnosis terlewat,” katanya.Ia juga menambahkan bahwa diagnosis autisme tidak bisa dilakukan hanya dari satu gejala saja. Harus dilihat secara menyeluruh melalui berbagai kriteria. Berikut beberapa tanda yang umum muncul pada anak dengan gangguan spektrum autisme:“Pemrosesan sensorik juga bermasalah. Anak bisa terlalu sensitif atau malah kurang peka terhadap rangsangan dari pancaindra,” jelas dr. Citra.Karena gejala bisa samar, terutama pada spektrum ringan, orangtua sering kali menganggap perilaku anak tersebut sebagai hal biasa. Misalnya, anak yang sangat terpaku pada satu mainan dianggap hanya sedang ‘fase suka’ saja.“Kita sering berpikir, ‘Namanya juga anak kecil, memang sukanya mainan itu-itu aja.’ Tapi kalau keterpakuannya sangat kuat dan terus-menerus, itu bisa jadi salah satu red flag,” tambahnya. Menetapkan diagnosis autisme tidak bisa sembarangan. Diperlukan evaluasi menyeluruh oleh tenaga medis dari berbagai bidang.“Diagnosis harus dari dokter spesialis anak, psikiater anak, bekerja sama dengan psikolog, dan dokter rehabilitasi medik. Jadi memang sifatnya multidisiplin,” ujar dr. Citra.Ia menegaskan bahwa diagnosis yang akurat sangat penting karena berkaitan langsung dengan kehidupan anak dan keluarganya. Semakin cepat terdeteksi, semakin besar peluang anak untuk berkembang optimal melalui terapi yang tepat. Data pasti jumlah anak dengan autisme di Indonesia memang belum tersedia secara menyeluruh. Namun, menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), tren global menunjukkan peningkatan angka autisme dari tahun ke tahun.“Angkanya meningkat, mungkin karena makin banyak dokter yang mulai aware. Dulu banyak yang terlewat karena kita belum terlalu peka terhadap spektrum ringan,” jelas dr. Citra.Ia menambahkan, meningkatnya diagnosis bukan berarti kasus baru bertambah, tetapi karena semakin banyak anak yang akhirnya bisa teridentifikasi lebih awal.“Sekarang anak-anak tersebut tidak lagi ‘lost’. Mereka bisa didiagnosis sejak dini dan diberikan penanganan yang sesuai,” tuturnya. Peran orangtua dalam mengenali gejala dan mencari bantuan medis sangatlah krusial. Jangan menunda atau menganggap enteng gejala hanya karena anak terlihat ‘baik-baik saja’.Jika Anda mencurigai adanya gejala yang mengarah pada autisme, segera konsultasikan ke dokter spesialis anak atau klinik tumbuh kembang terdekat. Deteksi dini bukan hanya membantu anak, tapi juga keluarga dalam merancang dukungan yang paling tepat untuk pertumbuhannya.
Autisme pada Anak, Ini Ciri Awal yang Perlu Diwaspadai Orangtua

Tag:Breaking News