Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menjelaskan alasan tidak langsung memblokir platform media sosial, seperti Facebook dan TikTok, meskipun ditemukan konten negatif yang dapat diakses anak-anak. Menteri Komdigi Meutya Hafid menegaskan pemblokiran penuh tidak bisa dilakukan secara langsung. Sebab, pemerintah ingin tetap menjaga kebebasan berekspresi bagi pengguna dewasa di media sosial. Karena itu, pendekatan utamanya adalah membatasi akses anak terhadap konten yang tidak sesuai usia melalui pengawasan dan regulasi yang ketat. “Kita memang memilih memberikan keluasan berekspresi bagi yang dewasa, tapi yang kita batasi adalah anak untuk masuknya (ke dalam platform media sosial) dulu,” kata Meutya Hafid dalam konferensi pers Literasi Digital untuk Perempuan, Anak, dan Komunitas, di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (16/6). Hal ini yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS). Peraturan ini secara khusus mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menyaring konten yang berpotensi membahayakan anak-anak, menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, serta memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan. Lebih lanjut, Meutya menjelaskan ada dua jalur penanganan konten negatif, yakni pemerintah melakukan takedown alias penurunan konten secara langsung, atau pemerintah memerintahkan platform untuk menurunkannya. Namun, dalam praktiknya, sejumlah platform disebut belum sepenuhnya mematuhi aturan tersebut. Misalnya, Facebook dan WhatsApp yang dinilai belum sepenuhnya mematuhi aturan sebab masih terdapat konten negatif yang lolos pengawasan, seperti iklan judi online. “Kalau ada yang tanya kenapa iklan judi online masih muncul di Facebook, harusnya paham bahwa pemerintah sudah minta take down. Tapi karena mereka (platform) rumahnya, dan mereka belum patuh, itu yang jadi masalah,” ujarnya.Meutya menambahkan bahwa keterlibatan publik dalam mengawasi platform digital juga sangat penting. Masyarakat didorong untuk aktif menyampaikan kritik terhadap konten yang dinilai tidak layak, agar pihak platform turut menyesuaikan kebijakannya.“Kalau masyarakat tidak mengkritik, platform akan terus merasa tidak apa-apa menyerahkan kontennya kepada anak-anak Indonesia. Pasar harus bicara,” jelasnya.Sebelumnya, Komdigi telah menerapkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN), aplikasi yang didesain untuk mengawasi dan menegakkan kepatuhan terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat atau User Generated Content (PSE UGC).Lewat mekanisme SAMAN, ia menjelaskan Kemenkomdigi akan memastikan bahwa PSE atau operator digital bertindak sesuai peraturan, misalnya platform wajib menurunkan konten sensitif seperti pornografi anak atau eksploitasi anak. “Jadi ada yang waktunya maksimal 4 jam, ada yang maksimal 24 jam,” ia menambahkan.Adapun terkait implementasi PP TUNAS, yang fokus pada perlindungan anak di ruang digital, pemerintah memberi waktu persiapan hingga dua tahun kepada platform untuk menyesuaikan teknologi, termasuk verifikasi usia pengguna.
Alasan Komdigi Tidak Blokir Media Sosial Meski Ada Konten Negatif untuk Anak

Tag:Breaking News