Home / Peristiwa / Ahli Pidana Sidang Hasto Tanggapi Pemaknaan Kata ‘Ok Sip’ oleh Ahli Bahasa

Ahli Pidana Sidang Hasto Tanggapi Pemaknaan Kata ‘Ok Sip’ oleh Ahli Bahasa

Jakarta Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menanggapi kata ‘ok sip’ yang diterjemahkan oleh ahli bahasa Frans Asisi Datang pada sidang sebelumnya, terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku dan perkara perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto.Menurut Chairul Huda, kata ‘ok sip’ tidak bisa dijadikan dasar dalam konteks terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap.Awalnya, kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy menyinggung hasil analisis ahli bahasa yang menyebutkan kata ‘oke sip’ dapat menjadi dasar untuk menjadikan seseorang sebagai terpidana.”Dalam persidangan karena saksi ini sudah diperiksa menyatakan tidak ada perbuatan dari terdakwa, maka, dihadirkan ahli bahasa untuk menerjemahkan percakapan, telepon, dan ahli bahasa sampaikan harus ditanyakan kepada subjek yang berkomunikasi, yang memberi pesan dan menerima pesan,” tutur Ronny di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (20/6/2025).”Pada saat persidangan kita munculkan bahwa saksi ini menyampaikan bapak itu bukan terdakwa, kemudian apakah dari keterangan ahli bahasa itu bisa membuat seseorang itu akan menjadi terpidana?” sambungnya.Chairul menjawab bahwa ahli bahasa hanya dapat menilai tentang teks dalam bentuk ujaran lisan. Sementara tidak bisa menyimpulkan terkait konteks di balik percakapan tersebut.”Tidak bisa menilai konteks, karena yang bisa menilai konteks itu adalah ahli hukum. Kalau ahli bahasa tidak bisa menilai konteks,” kata ahli hukum pidana itu.”Dia cuma menyatakan ‘ok sip’ artinya apa, tetapi konteksnya ini disampaikan dalam keadaan gimana, oleh siapa, dalam situasi apa, itu yang menilai ahli hukum. Jadi kalau ahli bahasa hanya melihat dari segi teks atau ujaran,” lanjutnya.Kasus Hasto Tidak Perlu Ahli BahasaChairul menilai, dalam penanganan kasus dugaan perintangan maupun korupsi, tidaklah perlu melibatkan ahli bahasa, melainkan ahli pidana, lantaran dapat memberikan pandangan terkait ada tidaknya pelanggaran pidana.Pelibatan ahli bahasa disebutnya lebih cocok dalam penanganan kasus ujaran kebencian. Keahliannya pun tepat digunakan untuk membedah arti dari pernyataan, yang menjadi pokok permasalahan.”Nah, makanya yang diperlukan ahli bahasa itu tindak pidana, yang perbuatan di situ diwujudkan dalam ujaran pasal-pasal ujaran kebencian, hate speech, baru perlu ahli bahasa. Kalau perintangan penyidikan enggak ada perlunya ahli bahasa,” Chairul menandaskan.Dalam persidangan Kamis, 12 Juni 2025, jaksa sempat bertanya kepada Frans Asisi Datang selaku ahli bahasa terkait makna ‘ok sip’ Hasto Kristiyanto kepada Saeful Bahri.”Coba kita terlepas daripada ahli sudah tahu konteksnya (dugaan penerimaan uang). Jadi saya pengen ini murni ahli meneliti kata-kata, tidak tahu konteksnya, ini pembicaraan antara siapa dengan siapa. Nah, di sini ada kata yang dikirim, pesan dikirimkan oleh Saeful atas nama Saeful. ‘Izin lapor mas hari ini P. Harun Geser 850’, itu di 16.11 ya, ada jamnya,” kata jaksa dalam pertanyaannya.”Kemudian langsung dijawab ‘ok sip’ di 16.12. Artinya di situ ada jeda yang hanya satu menit, langsung dijawab oke. Nah, sama seperti pertanyaan sebelumnya, apa yang saudara ahli tangkap di sini? Ketika dibilang lapor geser 850, oke sip. Kenapa tidak ada pertanyaan lain? 850 apa nih?” tanya jaksa.”Berarti mereka sudah saling paham. Sudah saling paham. Sudah mengerti,” jawab Frans.Jaksa kemudian menanyakan kecenderungan apa yang ada dalam balasan pesan yang sangat singkat semacam itu.”Tadi sudah saya jelaskan di awal bahwa pembicara atau penulis atau pemilik yang mengirim WA itu pasti punya kedudukan. Tadi saya ilustrasikan dengan pengalaman saya. Jadi sibuk, atau dia dalam posisi tidak menanyakan, jadi tidak bukan dalam posisi sebagai orang yang harus menanyakan lagi, gitu,” kata Frans.”Tapi dia paham, dia tahu, lalu karena dia bilang oke berarti sudah sesuai dengan yang dia maksud,” sambung ahli bahasa itu. Dalam kasus tersebut, Hasto Kristiyanto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019-2024.Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap anggota KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.Tidak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.Selain menghalangi penyidikan, Hasto Kristiyanto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu dalam rentang waktu 2019-2020.Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *