Jakarta – Awal 1974, sebuah telepon dari Jakarta membuyarkan rutinitas B.J. Habibie di Jerman. Lewat Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo, Presiden Soeharto memanggilnya pulang ke Indonesia. Negara sedang bersiap masuk tahap kedua pembangunan jangka panjang, dan butuh sosok ahli teknologi yang bisa bantu membangun industri strategis.Ingatan Soeharto langsung tertuju pada Habibie—si jenius dari Parepare yang sedang bersinar di perusahaan pesawat terbang Jerman, MBB. Demikian kisah itu ditulis Soeharto dalam buku Setengah Abad BJ Habibie yang merupakan bunga rampai tulisan dari banyak teman dan keluarga menyambut usia 50 tahun BJ Habibie.”Untuk mempersiapkan pembentukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, di bulan Januari 1974 melewati Dirut Pertamina saya panggil BJ Habibie yang berada di Jerman itu. Saya ingin mengetahui secara langsung mengenai kesediannya kembali ke Tanah Air, mengingat kedudukannya di luar negeri telah mapan, baik jabatannya maupun penghasilannya,” tulis Soeharto dikutip Selasa (20/5/2025).Dalam buku Mr. Crack dari Parepare: Kisah Inspiratif B.J. Habibie karya A. Makmur Makka disebutkan bahwa Habibie sejatinya sudah sejak lama siap pulang. Lewat iparnya, Kolonel Subono, ia sempat menyampaikan niat itu pada Soeharto sejak 1966. Tapi saat itu, Soeharto meminta Habibie untuk terus menimba ilmu.”Waktu itu saya memberi petunjuk agar ia tetap saja melanjutkan studinya dulu, sampai pada waktunya nanti saya memanggilnya,” kata Soeharto. Baru delapan tahun kemudian, 1974, panggilan itu benar-benar datang. Habibie pun langsung angkat koper. Dengan satu syarat dari Jerman: ia tetap menjadi penasihat teknologi MBB. “Persyaratan itu saya setujui asal segala pengetahuan Habibie di MBB bisa dimanfaatkan untuk pembangunan di Indonesia,” kata Soeharto.Karena dana belum memungkinkan pembentukan lembaga teknologi negara, Habibie lebih dulu ditunjuk sebagai Penasihat Teknologi Presiden. Ia memimpin divisi teknologi canggih di Pertamina dan mulai membangun cikal bakal industri pesawat terbang di Bandung. Dari sinilah benih lahirnya BPPT mulai tumbuh.Empat tahun kemudian, Habibie diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi di Kabinet Pembangunan III, sekaligus memimpin berbagai lembaga strategis. Pada Senin 28 Januari 1974, jam 19.30 di kediaman Presiden di Jalan Cendana, Presiden Soeharto memberi petunjuk-petunjuk yang jelas kepada BJ Habibie dalam mengembangkan teknologi untuk pembangunan ekonomi, khususnya dan pembangunan bangsa umumnya.”Pada tahun 1978, saya angkat dia menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Kabinet Pembangunan III, di samping menjabat sebagai Ketua dan Dirut badan-badan yang erat hubungannya satu dengan yang lain, ialah lembaga-lembaga teknologi dan industri,” tulisnya.Setiap kali B.J. Habibie datang melapor ke Presiden Soeharto, para wartawan yang biasa menunggu di Bina Graha atau Cendana langsung mengemasi peralatannya. “Kalau Habibie yang masuk, kita bubar aja deh,” begitu kira-kira gumam mereka.Bukan tanpa alasan — pertemuan Habibie dan Pak Harto bisa berlangsung empat jam lebih. Bukan ngobrol santai, melainkan benar-benar sesi kerja, serius, padat, dan mendalam.Habibie memang dikenal teliti, khas insinyur. Sebelum memulai proyek, ia pastikan dulu semua ‘gambar’ sesuai dengan keinginan Presiden. “Gimana kita mau bangun rumah kalau gambar dasarnya saja belum disetujui pemiliknya?” ujarnya dalam buku Mr. Crack dari Parepare: Kisah Inspiratif B.J. Habibie karya A. Makmur Makka.Ia bukan menteri yang sekadar menerima perintah, tapi benar-benar memastikan apa yang dikerjakannya betul-betul menjawab keinginan presiden. Ia mendengar, bertanya, mencatat, dan baru bekerja — semua dengan ketekunan luar biasa.”Orang lain seperti berpikir bahwa Habibie itu ‘akan memengaruhi Pak Harto’, karena ia pandai. Orang itu tidak tahu bahwa Habibie selalu meminta nasihat saya. Habibie tidak menempatkan diri sebagai orang yang paling tahu. Setiap memberikan laporan, sampai berjam-jam lamanya ia bersama saya karena ia ingin menangkap apa pendapat saya, apa filsafat saya. Dan setelah ia menangkap pendirian saya, filsafat saya, ia mengembangkannya sesuai dengan keahliannya sebagai insinyur,” kata Pak Harto.Meski sering dipuji Presiden Soeharto, namun Habibie mengaku malu. Ia merasa tak ada yang istimewa dari dirinya, hanya kebiasaan kerja yang teratur dan niat yang tulus. Bahkan, ia menyebut dirinya ‘murid politik’ dari Presiden Soeharto.“Sebelas tahun saya belajar dari orang bijaksana ini,” ucapnya, sambil menyebut nama-nama besar lain yang ia kagumi, seperti Bung Karno, Prof. Sumitro, dan Widjojo Nitisastro.Kunci awetnya hubungan Habibie dan Soeharto, menurut Soetjipto Wirosardjono, staf ahlinya di kantor Menristek, ada pada kemampuan Habibie menjalankan nilai harmoni Jawa. Yaitu Keno rikat ning orang pareng ndisiki. Keno seru ning ora pareng ngandhani. Keno takon ning orang pareng ngregoni”Artinya; Kamu boleh cepat (jalannya) tetapi jangan mendahului. Boleh keras (bicaranya) namun jangan menganggu. Dan, boleh bertanya (dan protes), asal jangan menghalang-halangi). Itulah ajaran untuk mengendalikan diri, kebudayaan tahu batas, menurut ajaran budaya Jawa.Dedikasi BJ Habibie pada negara dan bangsa sungguh besar. Ia berani mengorbankan kepentingannya sendiri. Pada waktu Presiden Soeharto memanggilnya, dan pada mulanya dia ditempatkan di Pertamina,”Saya berusaha untuk tidak menonjolkan seseorang, untuk tidak menunjukkan si A sebagai anak emas, atau si B sebagai anak jauh. Tidak! Tetapi bagaimanapun juga, orang yang diberi kesempatan berprestasi dan nyatanya ia (BJ Habibie) bisa berprestasi, memang itu harus diakui juga,” kata Pak Harto. Selama dua dekade, B.J. Habibie menjadi tokoh sentral dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia. Semua peran itu dijalaninya dengan semangat membangun industri dan teknologi dalam negeri.Ia mulai menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi pada 29 Maret 1978, diangkat langsung oleh Presiden Soeharto. Bukan hanya menteri, Habibie juga dipercaya memegang banyak jabatan strategis lainnya—mulai dari Kepala BPPT, Ketua Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), hingga Ketua Otorita Batam.Selama 20 tahun 1 bulan 22 hari menjadi masa jabatan paling lama era Orde Baru. Selama menjabat, Habibie bukan hanya duduk di kursi birokrasi, Ia bekerja layaknya seorang insinyur yang mengatur skema besar teknologi nasional.Walaupun BJ Habibie memiliki hubungan yang erat dengan Soeharto, tidak berarti ia selalu mengikuti apa saja yang diinginkan Soeharto. Terhadap hal-hal yang tidak rasional, BJ Habibie sering menolaknya. Lalu, sejarah mencatat momen penting. Pada 21 Mei 1998, bersamaan dengan lengsernya Soeharto, Habibie justru naik ke posisi tertinggi: dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ketiga. Dari insinyur di Jerman hingga pemimpin negara, Habibie telah menorehkan jejak panjang dalam sejarah Indonesia modern.
20 Tahun di Kursi Menteri Era Soeharto: Perjalanan BJ Habibie dari Teknokrat ke Presiden

Tag:Breaking News