BANDA ACEH, Pemerintah Provinsi Aceh menanggapi pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan bahwa Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan status kepemilikan empat pulau di Aceh dan Sumatera Utara.
Bantahan ini disampaikan oleh Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, pada Senin (16/6/2025) di depan kantor Gubernur Aceh, saat bertemu dengan peserta demonstrasi.
Syakir menjelaskan bahwa Undang-Undang 1956 dan Perjanjian MoU Helsinki tidak dapat dipisahkan dari kesepakatan yang dibuat pada tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Sumatera Utara.
“Yang jelas kalau kita pelajari secara hukum bahwa kesepakatan ini menjadi UU bagi para pihak. Dan ini mengikat bagi kedua para pihak itu sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Yusril: UU 24 Tahun 1956 dan MoU Helsinki Tak Bisa Jadi Rujukan Sengketa 4 Pulau
Lebih lanjut, Syakir mengungkapkan bahwa dalam Permendagri 141 Tahun 2017 tentang penegasan batas daerah, pada pasal 3 ayat 2 huruf f, disebutkan bahwa dokumen penegasan batas daerah mencakup kesepakatan yang pernah dibuat oleh pemerintah daerah yang berbatasan.
Ia menambahkan bahwa dalam lampiran Permendagri tersebut, dijelaskan tahapan penegasan batas daerah di laut, yang meliputi pengumpulan semua dokumen terkait, seperti peta dasar dan dokumen lain yang disepakati oleh para pihak.
“Dokumen penyelesaian batas daerah salah satunya adalah kesepakatan kedua daerah yang berbatasan. Ini aturan yang ngomong, bukan kata orang,” tegasnya.
Sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, menjelaskan bahwa UU Nomor 24 Tahun 1956 hanya menyebutkan bahwa Provinsi Aceh terdiri atas beberapa kabupaten tanpa menjelaskan batas-batas wilayah secara perinci, baik antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, maupun batas antar kabupaten di Provinsi Aceh sendiri.
Ia menambahkan bahwa Kabupaten Aceh Singkil yang kini berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah belum ada pada tahun 1956.
Yusril juga menyatakan bahwa keempat pulau yang dipermasalahkan tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU Nomor 24 Tahun 1956 maupun dalam Perjanjian Helsinki.
Baca juga: Gagal Kembalikan 4 Pulau, Kepercayaan Warga Aceh pada Muzakir Manaf Bisa Ambruk!
Oleh karena itu, ia menilai kedua instrumen hukum tersebut tidak dapat dijadikan dasar penyelesaian status keempat pulau yang dipermasalahkan.
“Keempat pulau yang dipermasalahkan antara Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara sekarang ini tidak sepatah katapun disebutkan, baik dalam UU Nomor 24 Tahun 1956 maupun dalam MoU Helsinki. Karena itu, saya mengatakan bahwa MoU Helsinki dan UU Nomor 24 Tahun 1956 tidak bisa dijadikan sebagai referensi utama penyelesaian status empat pulau yang dipermasalahkan,” ujarnya.