Home / Travel / Digeser Malaysia, Peringkat Indonesia di Daftar Destinasi Wisata Ramah Muslim 2025 Turun Dratis

Digeser Malaysia, Peringkat Indonesia di Daftar Destinasi Wisata Ramah Muslim 2025 Turun Dratis

Jakarta – Indonesia yang biasanya menempati peringkat teratas harus mengakui keunggulan Malaysia yang mendapat penghargaan sebagai destinasi wisata ramah muslim terkemuka di dunia di tahun 2025. Malaysia meraih gelar ‘Destinasi Ramah Muslim Terbaik Tahun Ini’ versi Global Muslim Travel Index (GMTI) di antara negara-negara mayoritas muslim di dunia.Dilansir dari situs resmi Mastercard-CrescentRating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2025 yang dirilis pada 12 Juni 2025, penghargaan tersebut diberikan pada Halal in Travel Awards ke-4 di Singapura. Wakil Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Khairul Firdaus Akbar Khan menerima penghargaan Destinasi Ramah Muslim 2025 atas nama Malaysia.Dalam sambutannya, Khairul Firdaus memuji kolaborasi antara badan pemerintah, mitra sektor swasta, dan masyarakat lokal dalam memastikan keberhasilan Malaysia yang berkelanjutan.Penghargaan ini mencerminkan komitmen kolektif untuk menjadikan Malaysia inklusif, mudah diakses, dan ramah bagi wisatawan Muslim.GMTI, yang disusun oleh CrescentRating, menilai destinasi berdasarkan ketersediaan makanan halal, fasilitas salat, layanan ramah keluarga, dan kepekaan budaya secara keseluruhan. Infrastruktur Malaysia untuk sertifikasi halal, tempat salat yang tersebar luas, dan kebijakan perhotelan yang terpadu telah menjadikannya yang terdepan dalam hal perjalanan yang ramah Muslim.Sementara itu Indonesia turun drastis ke peringkat ke-5 padahal di tahun lalu berhasil menempati peringkat pertama. Urutan kedua sampai keempat masing-masing ditempati Turki, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).Sedangkan urutan keenam sampai kesepuluh adalah Qatar, Oman, Kuwait, Yordania dan Iran.Jumlah kedatangan wisatawan Muslim internasional pada 2024 mencapai 176 juta,wisatawan), naik 25 persen dibanding tahun sebelumnya, dan diproyeksikan akan menyentuh angka 245 juta pada 2030 mendatang. Sementara untuk negara non-muslim atau non-OKI yang terpiliih sebagai destinasi ramah muslim adalah Singapura, diikuti oleh Inggris Raya, Hong Kong, Tawan dan Thailand.Beberapa bulan lalu, Ketua DPP Astindo Pauline Suharno menyatakan branding ramah muslim sangat menarik terutama bagi wisatawan muslim saat ini, khususnya di Indonesia yang makin peduli pada perjalanan wisata yang tetap sesuai syariat.”Kalau misalkan tidak ada makanan halal, atau tidak ada tempat untuk ibadah, itu kayaknya agak repot, agak kurang menarik jadinya,” katanya.Hal itu juga disadari Astindo saat berpameran di luar negeri. Ia mengaku biasa menggunakan branding tersebut saat mempromosikan Indonesia kepada pasar luar negeri. Terlebih dengan populasi muslim yang besar, Indonesia layak disebut sebagai ramah muslim.”Jadi, Indonesia itu tidak perlu dibuat halal destination segala macam karena di mana pun sudah ramah muslim. Sebetulnya di Indonesia, mau cari musala, mau cari surau, mau cari masjid itu mudah banget. Mau cari tempat makan yang halal itu juga mudah sekali di Indonesia,” kata dia.”Jadi Indonesia, kalau menurut kami, malah tidak perlu dilabeli sebagai halal destination karena sudah sangat mudah,” sambungnya. Sayangnya, promosi pariwisata tersebut yang dinilai Pauline kurang digarap dengan baik oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata (Kemenpar).Pemotongan anggaran atas nama efisiensi bahkan membuat pemerintah hanya fokus pada pasar yang itu-itu saja, seperti Australia, Eropa, dan beberapa negara Asia Tenggara, padahal ada peluang pasar yang lainnya, seperti Hong Kong. Tak heran, kata Pauline, jumlah wisatawan Indonesia yang pergi ke Hong Kong lebih banyak dibandingkan wisatawan Hong Kong yang datang ke Indonesia.”Itu problem kita ya, karena to be honest, dengan adanya pemotongan bujet, pemotongan anggaran promosi dari pemerintah, pemerintah ini kelihatannya tidak terlalu fokus dengan market Hong Kong itu sendiri. Kita jarang melihat adanya sales mission dari Indonesia ke Hong Kong,” ujarnya.”Kayak enggak dianggap pasar yang potensial Hong Kong ini. Sangat disayangkan karena maskapai penerbangan direct-nya itu banyak. Kita sehari ada tiga kali Garuda, ada Air Asia, ada Batik, segala macam,” imbuh Pauline. 

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *