MAKASSAR, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyatakan bahwa pemerintah telah memblokir sebanyak 2 juta konten terkait judi online (judol) hingga saat ini.
Meski begitu, Meutya menekankan bahwa upaya pemberantasan judi online tak hanya cukup dengan pemblokiran.
“Per hari ini kita sudah take down 2 juta konten judi online, dan betul ada lagi yang lahir. Situs ini bisa membuat baru lagi bahkan secara otomatis,” ujar Meutya, di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (16/6/2025).
Menurut Meutya, kemampuan pelaku untuk terus mengganti nama domain atau situs membuat pemberantasan tidak cukup hanya mengandalkan pemutusan akses digital.
Baca juga: Penjual Bakso di Bali Curi Uang Rp 27 Juta Milk Rekan Kerja demi Judi Online
“Strategi utama bukan hanya pada take down, meskipun Komdigi akan terus melakukan pengawasan dan penindakan di ranah digital,” kata Meutya.
Pemerintah, melalui Komdigi, juga menekankan pentingnya edukasi publik agar masyarakat sadar akan bahaya dan dampak negatif dari judi online.
Ia menegaskan bahwa pemberantasan harus dimulai dari penurunan permintaan terhadap praktik ilegal ini.
“Ini industri. Kalau peminatnya atau konsumennya terus ada, maka di situ akan terus ada ruang bagi mereka berkembang. Jadi harus kitanya juga yang melawan,” tegas Meutya.
Meutya juga menyoroti tingginya jumlah anak di bawah usia 18 tahun yang terjebak dalam praktik judi online.
Baca juga: Keranjingan Judi Online, Mantri Bank BUMN di Jepara Tilap Uang Kredit Lebih dari Rp 800 Juta
Untuk itu, pemerintah mendorong penerapan Peraturan Menteri SAMAN (Sistem Kepatuhan Moderasi Konten) dan PP Tunas yang fokus pada pelindungan anak di ruang digital.
“Dengan aturan membatasi atau menunda usia akses anak-anak di bawah 18 tahun ke media sosial, kita harapkan ini bisa mengurangi secara signifikan judi online yang ada di Indonesia,” ujar Meutya.
Dia menegaskan bahwa saat ini takedown tidak dilakukan secara manual, melainkan menggunakan sistem digital AI.
Di sisi lain, dia juga menekankan pentingnya langkah tambahan seperti regulasi dan edukasi.
“Jadi kita melakukannya tidak manual secara digital, atau secara AI. Namun yang perlu diingat juga bahwa kejahatannya juga menggunakan artificial intelligence,” ungkapnya.
“Kita melakukan takedown dengan AI ini sebenarnya tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Harus ada langkah-langkah tambahan, semisal regulasi dan juga tentu edukasi yang masif kepada masyarakat,” tegas dia.